Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu dua anak, PhD Student at Monash University Australia

Menyimpan jejak petualangan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kiat Menyeimbangkan Kehidupan Akademik dan Keluarga

4 September 2022   07:38 Diperbarui: 5 September 2022   01:34 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi studi. Sumber foto: pexel.com, Pixabay
Ilustrasi studi. Sumber foto: pexel.com, Pixabay

3. Minta Bantuan

Dulu saya beranggapan bahwa perempuan yang sukses adalah perempuan yang dapat mengerjakan semua pekerjaan yang melekat dengan perannya. Sebagai seorang isteri dan ibu, berarti saya harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah. 

Rumah tertata rapi, masakan lezat terhidang di meja, setiap kebutuhan anggota keluarga pun terpenuhi. Sebagai seorang pelajar, segala kewajiban akademik terselesaikan dengan nilai yang tinggi. Nyatanya semua hanya mimpi. Saya bukan super woman. Satu dua hari saya bisa lakukan, namun untuk jangka Panjang, saya bisa kehabisan energi.

Menyadari kekurangan diri saya memutuskan untuk meminta bantuan. Tak mengapa tak sempurna. Saya sampaikan kepada suami dan si sulung bahwa saya butuh bantuan dalam mengurus urusan rumah. Hasilnya, tak hanya pekerjaan rumah terbantu namun juga menjadi ajang latihan bagi anak saya untuk mengurus keperluan diri. Ia bahkan sudah bisa menyiapkan bekal untuk dibawa sang ayah bekerja.

Di samping itu, saya juga minta bantuan daycare dekat rumah untuk mengasuh bayi saya dua hari dalam sepekan. Tadinya saya ragu. Inginnya saya mengasuh sendiri hingga usia dua tahun karena khawatir dengan perkembangan bahasanya. 

Saya berupaya agar ia mantap dulu dengan Bahasa Indonesia, baru kemudian diperkenalkan dengan Bahasa lain. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Semoga saja dia aman-aman saja mengenal beberapa Bahasa dalam satu waktu.

4. Berbicara kepada dosen

Bila ada kendala, saya berusaha untuk menyampaikan kepada dosen. Jangan sampai mereka mengira mahasiswanya baik-baik saja padahal tidak.

Pada awalnya bimbingan baik individu maupun kelompok dilaksanakan setiap kamis. Awal-awal, saat si sulung belum mulai sekolah, saya bisa menitipkan si kecil bungsu beberapa jam saat saya harus ke kampus. Namun tidak lagi setelah ia masuk sekolah. 

Sementara itu, hari kamis tidak bisa menerima anak saya karena hari itu full. Saya memberanikan diri untuk menanyakan apakah mungkin pertemuan pindah ke hari rabu. Alhamdulillah, pertemuan dapat dipindah ke hari rabu. Lima mahasiswa bimbingan beliau pun malah turut dipindahkan ke hari rabu. Alhamdulillah semua tak bermasalah dengan hari pertemuan.

5. Berani berkata "tidak"

Mengucap kata "tidak" merupakan keterampilan yang sulit saya lakukan. Namun kini, mau tidak mau harus saya lakukan. Bukan karena saya tidak menghormati orang atau tidak berempati namun saya harus berani menentukan prioritas. 

Di samping itu saya harus menyadari bahwa saya memiliki sumber daya yang tidak tak terbatas. Dengan berat hati saya menolak ajakan mengajar ngaji untuk anak-anak muslim sekitar. Ini sementara, jika sudah memungkinkan, mungkin saya akan bergabung. Saat ada acara-acara ke-Indonesia-an dan membuka peluang relawan menyediakan makanan misalnya, saya juga cukup selektif, mengukur kemampuan diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun