Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu dua anak, PhD Student at Monash University Australia

Menyimpan jejak petualangan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kiat Menyeimbangkan Kehidupan Akademik dan Keluarga

4 September 2022   07:38 Diperbarui: 5 September 2022   01:34 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bercengkerama dengan orangtua. Sumber: Kompas.com

Merantau untuk menimba ilmu bersama keluarga merupakan anugerah namun butuh perjuangan. Terkadang suka iri dengan teman-teman yang dengan mudah bisa datang ke kampus kapan saja. Bahkan di antara mereka tak sedikit yang pulang malam. 

Tak terbayang, tugas yang telah mereka selesaikan mungkin sudah banyak. Tapi sudahlah! Bukankah membawa keluarga juga adalah sebuah pilihan yang telah diambil yang justru itu merupakan langkah terbaik bagi saya agar hati lega. 

Jauh-jauh hari, salah satu supervisor saya sudah mengingatkan untuk memenej berbagai tugas akademik maupun keluarga. Agar kehidupan keluarga damai tentram sekaligus kehidupan akademik terlalui dengan nyaman ada beberapa langkah saya tempuh,

1. Sediakan waktu untuk mengobrol

Mengobrol sepertinya sepele namun memiliki pengaruh yang cukup besar. Komunikasi dapat menjadikan seluruh anggota keluarga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Waktu mengobrol yang paling cocok bagi saya dan keluarga adalah saat makan sore atau malam. Semua biasa bercerita tentang aktivitasnya seharian. 

Hal-hal apa yang menarik ataupun yang kurang menyenangkan. Semua bisa saling memberi semangat dan menghibur sembari mempersiapkan diri untuk beraktivitas esok hari

2. Sediakan waktu khusus untuk belajar

Normalnya, mahasiswa PhD bidang sosial humaniora seperti Pendidikan tidak memiliki aktivitas riset di laboratorium seperti halnya science maupun Teknik. Mereka biasanya datang ke kampus dari pagi hingga petang untuk melakukan riset, menulis maupun mengikuti workshop. 

Saya sendiri sehubungan tidak memungkinkan untuk pergi ke kampus setiap hari, saya memutuskan untuk mengikuto workshop secara online. Kelas-kelas yang wajib diambil umumnya tersedia baik tatap muka maupun daring. Selagi ada pilihan daring, saya memilih untuk mengambil daring.

Sementara itu, untuk waktu khusus belajar mandiri, saya memilih waktu dini hari sebelum shubuh. Pasalnya pada waktu tersebut bayi saya biasanya masih tertidur. Sementara siang hari, kalau si kecil sedang nyaman main sendiri atau sedang dititip di daycare, saya bisa kembali belajar, melanjutkan riset ataupun menulis. 

Akan tetapi hari tak selalu mulus. Kadang saat ide mengalir, si kecil sedang butuh perhatian. Kalau begitu, ide bisa buyar dan tak mudah mengembalikannya lagi. 

Jika kondisi ini muncul, saya buru-buru menuliskan kata kunci di grup whatsapp yang isinya hanya saya sendiri. Atau memfoto halaman jurnal yang tengah saya baca agar bila waktu sudah memungkinkan, saya bisa melanjutkan. Lumayanlah gak mesti dari nol lagi.

Ilustrasi studi. Sumber foto: pexel.com, Pixabay
Ilustrasi studi. Sumber foto: pexel.com, Pixabay

3. Minta Bantuan

Dulu saya beranggapan bahwa perempuan yang sukses adalah perempuan yang dapat mengerjakan semua pekerjaan yang melekat dengan perannya. Sebagai seorang isteri dan ibu, berarti saya harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah. 

Rumah tertata rapi, masakan lezat terhidang di meja, setiap kebutuhan anggota keluarga pun terpenuhi. Sebagai seorang pelajar, segala kewajiban akademik terselesaikan dengan nilai yang tinggi. Nyatanya semua hanya mimpi. Saya bukan super woman. Satu dua hari saya bisa lakukan, namun untuk jangka Panjang, saya bisa kehabisan energi.

Menyadari kekurangan diri saya memutuskan untuk meminta bantuan. Tak mengapa tak sempurna. Saya sampaikan kepada suami dan si sulung bahwa saya butuh bantuan dalam mengurus urusan rumah. Hasilnya, tak hanya pekerjaan rumah terbantu namun juga menjadi ajang latihan bagi anak saya untuk mengurus keperluan diri. Ia bahkan sudah bisa menyiapkan bekal untuk dibawa sang ayah bekerja.

Di samping itu, saya juga minta bantuan daycare dekat rumah untuk mengasuh bayi saya dua hari dalam sepekan. Tadinya saya ragu. Inginnya saya mengasuh sendiri hingga usia dua tahun karena khawatir dengan perkembangan bahasanya. 

Saya berupaya agar ia mantap dulu dengan Bahasa Indonesia, baru kemudian diperkenalkan dengan Bahasa lain. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Semoga saja dia aman-aman saja mengenal beberapa Bahasa dalam satu waktu.

4. Berbicara kepada dosen

Bila ada kendala, saya berusaha untuk menyampaikan kepada dosen. Jangan sampai mereka mengira mahasiswanya baik-baik saja padahal tidak.

Pada awalnya bimbingan baik individu maupun kelompok dilaksanakan setiap kamis. Awal-awal, saat si sulung belum mulai sekolah, saya bisa menitipkan si kecil bungsu beberapa jam saat saya harus ke kampus. Namun tidak lagi setelah ia masuk sekolah. 

Sementara itu, hari kamis tidak bisa menerima anak saya karena hari itu full. Saya memberanikan diri untuk menanyakan apakah mungkin pertemuan pindah ke hari rabu. Alhamdulillah, pertemuan dapat dipindah ke hari rabu. Lima mahasiswa bimbingan beliau pun malah turut dipindahkan ke hari rabu. Alhamdulillah semua tak bermasalah dengan hari pertemuan.

5. Berani berkata "tidak"

Mengucap kata "tidak" merupakan keterampilan yang sulit saya lakukan. Namun kini, mau tidak mau harus saya lakukan. Bukan karena saya tidak menghormati orang atau tidak berempati namun saya harus berani menentukan prioritas. 

Di samping itu saya harus menyadari bahwa saya memiliki sumber daya yang tidak tak terbatas. Dengan berat hati saya menolak ajakan mengajar ngaji untuk anak-anak muslim sekitar. Ini sementara, jika sudah memungkinkan, mungkin saya akan bergabung. Saat ada acara-acara ke-Indonesia-an dan membuka peluang relawan menyediakan makanan misalnya, saya juga cukup selektif, mengukur kemampuan diri. 

Beberapa teman yang jago masak misalnya mereka menyumbang masakan. Saya sendiri lebih memilih menyumbang makanan yang tidak memerlukan waktu dan keahlian untuk mengolahnya. Misalnya dengan membawa buah-buahan. Tinggal beli di tok0 buah, langsung dibawa ke tempat acara beres deh. Tetap berkontribusi sesuai kemampuan diri. Tak sempurna, tak mengapa.

Itulah beberapa langkah yang dapat diambil untuk menyeimbangkan kehidupan akademik dan keluarga. Semoga dapat lulus tepat waktu dengan hasil yang baik dan disambut suka cita oleh keluarga. Lalu pulang ke tanah air tercinta, mengabdi pada bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun