"Lalu apa bedanya kau dengan ibumu?!" hardik ayah.Â
Itu bukan bentakannya yang pertama, tapi terasa lebih menyakitkan dari semua bentakan yang pernah ia lontarkan padaku. Kemudian kami kembali senyap, beberapa lama hanya suara tangis kecilku yang terdengar, hingga ayah kembali membuka suara sekaligus mengakhiri pembicaraan kita.Â
"Apapun itu, masalah ini tidak akan terjadi jika pada saat itu kau hanya diam mendengarkan, kau juga seharusnya maklum sebab ibu tengah berada pada kondisinya yang kacau. Jadi ketahuilah bahwa sumber masalah ini adalah dirimu sendiri." Ayah kemudian menyerahkan sebuah undangan berwarna cokelat, di depannya ada dua nama yang terukir indah dengan pita yang terikat pas di kedua sisinya.Â
"Besok kau harus hadir, jangan sampai masalah ini terdengar oleh keluarga mempelai pria, bersikaplah seperti tidak terjadi apa-apa. Setelah foto keluarga kau boleh pulang, yang terpenting jaga nama baik keluarga." ucap ayah mengakhiri kalimatnya. Sementara aku hanya bisa terdiam, tersenyum getir memandang punggung ayah yang menghilang dibalik jingga yang hendak menghitam. Tangisku pecah bersamaan dengan harapan yang luruh, harapan akan adanya seseorang yang menggengam tanganku erat dan berkata bahwa ini bukan salahku. Nyatanya, aku hanya tetap menggengam udara kosong tak bertuan.Â
"Jaga nama baik keluarga, ya?" gumamku lirih.
Keesokan paginya dengan mata sembap, aku benar-benar hadir di resepsi pernikahan Tiara. Ijab Kabul telah diucapkan dan semua saksi telah berucap sah. Aku menjadi satu dari banyaknya tamu undangan yang juga menyaksikan, ikut tersenyum saat melihat adikku Tiara memeluk suaminya bahagia, meski sejujurnya aku masih merasa kecewa padanya. Acara kemudian dilanjutkan dengan berbagai pidato dan sambutan, tentunya dari kedua orang tua mempelai. Namun hari ini, aku juga tak ingin ketinggalan membuka suara. Maka setelah ibu turun dari panggung, mengabaikan tatapan tajam ayah, kuberanikan diri untuk menyampaikan pidato yang sudah kupikirkan matang-matang.Â
Pidato kali ini rasanya berbeda dengan pidato-pidato sebelumnya, pada pidato ini aku merasa cemas entah apa sebabnya. Nyaliku menjadi lebih ciut, terlebih saat melihat para tamu undangan yang sebagian besar adalah teman-teman ibu yang dahulu pernah merundungku. Suaraku pula menjadi tak selantang seperti saat aku melawan teman-teman ibu dulu. Akan tetapi saat ini, tak begitu ku pedulikan mereka semua. Akan ku tunjukkan bahwa kesempatan ini memang pantas untukku maka semakin ku genggam erat pengeras suara di tanganku sebelum kembali melanjutkan pidatoku.Â
"Pernikahan adalah suatu ikatan suci yang diidam-idamkan oleh semua orang. Saat kita akhirnya bisa seatap bersama orang terkasih, melewati momen membahagiakan dan menyedihkan bersama, menikmati waktu muda hingga menua, dan saling menjadi saksi ketika rambut telah memutih. Oleh karena itu, banyak orang yang menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup, sebab disana kebahagiaan bisa ditemukan dan saya ucapkan selamat kepada adik saya, Tiara dan suaminya yang telah berhasil mendapatkan satu kebahagiaan yang banyak dicari orang.Â
Bagi saya, pernikahan itu layaknya bunga mawar, indah bila kau lihat, tetapi sebenarnya terdapat banyak duri dibalik keindahan itu. Bila kau hanya melihat keindahan, kau akan terlena pada duri yang bisa menyakitimu kapan saja, yang semula tak dihiraukan keberadaannya. Duri-duri itu akan melukaimu, bukan hanya sekali, jika kau tidak berhati-hati duri itu akan merusak tanganmu. Keindahan mawar itu hanya sementara, akan layu juga pada akhirnya, namun luka yang diakibatkan oleh durinya akan berbekas selamanya. Begitu lah pernikahan, jangan hanya melihat indahnya nanti kau dikejutkan dengan duri-durinya dan jangan hanya menatap duri nanti kau akan kehilangan keindahan yang terdapat di dalamnya. Namun, duri-duri itu juga tak akan menjadi masalah jika kau pandang sebagai bagian dari keindahan bunga mawar, sebab tanpa duri-duri itu bunga mawar bukanlah bunga mawar.Â
Saya, akan menjadi orang yang menikmati keindahan bunga mawar dari kejauhan, bukan karena saya takut terkena durinya. Akan tetapi, karena ada bunga lain yang yang lebih saya suka dan tak semua orang harus menikmati keindahan bunga mawar dengan cara yang sama. Maka dengan ini pula, saya memohon izin kepada ayah dan ibu untuk mengizinkan saya memilih bunga yang lain. Bunga yang juga seindah bunga mawar, tetapi tak memiliki duri sebanyak bunga mawar. Jangan khawatirkan apapun tentang pilihan ini, alasannya semata-mata hanya karena saya ingin menikmati keindahan bunga mawar dengan cara yang berbeda."Â
Begitulah akhirnya aku bisa mencurahkan isi hatiku, mengosongkan beban-beban yang sedari dulu memenuhi batinku. Namun karena itu pula, aku juga harus mengemasi barang-barangku, sebab sejak pidato itu, rumah benar-benar sudah tak terasa nyaman lagi untukku. Aku juga sepenuhnya sadar, memilih jalan ini sama dengan mengecawakan ayah dan ibu. Tak apa, sebab bunga mawar tak harus selalu dipandang bunganya. Aku bisa memandang daunnya, rantingnya, atau durinya karena semua orang bebas melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Â