"Bukankah semua itu menjemukkan? Kalau kau memang seorang perempuan yang merasa terhormat, maka jangan bersembunyi dibalik laki-laki. Berlutut padanya demi sesuap nasi, memenuhi nafsunya agar tidak ditinggalkan sendiri, dan menjadi pelampiasan akan rasa marah, kecewa, lelah, dan gagal dari seorang laki-laki. Wanita seperti itu selalu berteriak kehormatan, padahal hanya memungut kehormatan dari sang laki-laki. Kehormatannya tidak lain hanya karena menjilat kaki sang suami."
"Tessi!" ibu berteriak kencang, mengakibatkan semua atensi kini terpusat kepadaku. Akan tetapi nafsu setan kini telah menyelimuti, aku marah bercampur kecewa yang harus dilampiaskan secepatnya, dan yang pantas mendapatkan pelampiasan ini ialah mereka yang tiada pernah menghargai sesamanya.Â
"Apa yang kalian banggakan dari itu semua?" Aku semakin meninggikan bicaraku, dari ekor mata kulihat Tiara berjalan mendekatiku.Â
"Kak jangan bertindak sesuka hati." Tiara berbisik pelan, sementara aku masih seperti orang kesetanan.Â
"Lucu. Lucu sekali orang memperingatkanku untuk tidak bertindak sesuka hati padahal orang-orang sesuka hatiku padaku."Â
Tora yang entah sejak kapan mendekat segera menarik tanganku, "Jangan bertindak bodoh kak atau ayah akan membunuhmu."
 "Baiklah segera bunuh aku! Lagipula kehadiranku tak ada artinya bagi kalian, kan?" aku menghempaskan cekalan tangan Tora lalu segera berlalu pergi.  Â
Kecewa, marah, dan benci bercampur aduk memporak-porandakan suasana hati. Bahkan rasanya, udara di alam semesta ini tak akan mampu memenuhi rongga hatiku yang kosong. Sebanyak apapun aku menghirup dan menghempaskannya, sebanyak itu pula kekosongan terasa lebih nyata. Sudah enam hari aku tidak pulang ke tempat yang disebut rumah, aku merasa lebih tenang meski terasa kosong, aku merasa lebih nyaman meski kedinginan, dan aku merasa sendirian meski di tengah keramaian. Seperti hari-hari yang lalu, sore ini aku kembali menikmati jingga di taman kota, kali ini tidak sendirian sebab ayah yang memintaku datang.Â
"Apakah aku salah?"Â
"Kau melewati batas." Ayah menjawab ketus, tanpa sedikit pun memandangku.Â
"Lalu bagaimana dengan ibu? Ia mempermalukanku di depan teman-temannya, jika ayah diposisiku apakah ayah hanya akan diam saja?!" suaraku bergetar, menahan emosi yang kembali menggerayang.Â