Aku terkikik geli, tetapi tawa bahagiaku harus kuhentikan paksa saat ibu memanggilku, menyuruhku untuk membawakan makanan ringan pada teman-teman arisannya. Aku mengeluh tapi tetap mengerjakannya, sesaat aku sesali keputusanku memilih tak pergi ke kantor.Â
"Oh ini Tessi ya, wah badanmu semakin berisi saja. Sudah berapa umurnya, Jeng?" salah satu teman ibu yang paling glamour dengan berbagai macam perhiasan yang menempel di tubuhnya bertanya pada ibu, sebenarnya ia bisa saja langsung bertanya padaku, tapi aku tahu ia hanya berniat menyindirku.Â
Aku berharap saat itu ibu membelaku dan menegur temannya yang mencampuri urusan orang. Namun ternyata harapanku kandas saat ibu ikut tertawa disusul oleh teman-temannya yang lain.Â
"Ya begitu lah bu, tubuhnya makin berisi karena kerjanya makan mulu padahal umur sudah di kepala tiga. Beda sekali dengan adiknya, Tiara selalu menjaga pola makannya. Tak heran ia mendapat calon suami yang ganteng dan dari keluarga kaya raya. Itu si Tessi, sampai saat ini belum juga dilirik laki-laki." Ibu membalas jenaka.Â
Kemudian segera bersusul-susulan tawa dari semua temannya. Ibu yang kuharapkan sebagai pelindungku malah ikut merundungku, sebenarnya aku sudah cukup terbiasa dengan hal semacam ini. Aku tak mungkin bisa melawan, maka berlalu pergi adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.
"Kalau saya tidak salah, anak kedua jeng, si Tora kan juga sudah menikah ya? Tiara juga sebentar lagi akan menikah, lalu Tessi kira-kira mau menyusul kapan? Masa tidak malu didahului adik-adiknya."Â
Seorang ibu yang lain juga tak ingin ketinggalan mempermalukanku. Sedikit ku ketahui tentangnya bahwa ia adalah seorang istri dewan, bergaya paling mewah tetapi juga yang paling suka mencampuri urusan orang. Menyedihkan saat aku melirik ibu namun ia menikmati tawa dengan begitu bahagianya.Â
"Begini lah bu, anak muda sekarang begitu tergila-gila mengejar karir, tapi untuk masa depannya sendiri tak dipedulikan. Seorang perempuan kan tak mungkin hidup sendiri tanpa seorang laki-laki yang akan menemani hingga masa tua nanti. Beruntung anakku Tiara tidak memilih jalan yang salah seperti kakaknya, saat dia meminta untuk menikah muda tentu tak ada alasan bagiku dan suami untuk menahannya, apalagi calon suaminya sendiri sudah begitu menjanjikan."Â
Sekarang ibu bukan hanya menghinaku, tetapi bohong akan pernikahan Tiara. Sialnya ia menggunakanku sebagai tameng untuk kebohongannya. Namun untuk kali ini aku tidak akan diam saja, persetan dengan perasaan orang yang harus kujaga, orang-orang itu bahkan tak memikirkan perasaanku yang digunakan sebagai bahan canda tawa. Apalagi ibu, perlakuannya padaku kali ini sudah tak bisa dibiarkan begitu saja.Â
"Aku merasa terhormat kalian memperhatikanku dengan sebegitu detailnya, bahkan urusan pernikahan yang menjadi privasi orang pun kalian perhatikan juga. Namun ibu-ibu, alasanku yang sebenarnya tidak ingin menikah bukanlah seperti yang kalian semua kira. Alasanku tidak menikah hingga saat ini adalah karena aku berkaca dari kalian semua."Â
"Perceraian," aku menatap wanita bergaya glamour yang tadi menghinaku. "Lalu di madu" mataku beralih pada isteri anggota dewan yang tadi juga menyumbang hina padaku. "Dan menjadi pelampiasan sang suami," kali ini aku beranikan menatap ibu, lebih lama dari dua yang pertama.Â