Pagi hari ini, kami terdiam di meja makan. Sarapan pagi di depanku belum sempat kujamah saat adik perempuanku, Tiara, datang ke meja makan dengan alat tes kehamilan di tangannya. Dengan tangis dan suara lemah ia menunjukkan alat bergaris dua itu pada kami semua. Ayah adalah orang yang paling murka, ia merasa kecewa pada putri kebanggan yang sering digadang-gadangnya sebagai pengangkat derajat keluarga. Sementara ibu hanya bisa menangis, meratapi nasibnya sembari menenangkan ayah yang belum habis-habisnya menceramahi Tiara. Aku sendiri memilih diam, tak ingin ikut campur lebih jauh. Apakah aku kecewa? Tentu saja, sebagai kakak yang juga selalu menasihati Tiara atas gaya berpacarannya yang sering kelewat batas, aku benar-benar merasa seperti tidak dihargai karena ternyata selama ini nasihatku hanya dianggap angin lalu olehnya. Maka kali ini biarkan Tiara bertanggung jawab atas masalahnya.
Tora, adik laki-lakiku juga tak berkomentar sedikit pun. Mungkin ia masih merasa malu atas kejadian semalam, saat ia datang ke rumah dengan tergesa-gesa, meninggalkan isteri dan anaknya karena ketahuan selingkuh oleh mertuanya.Â
"Lalu sekarang bagaimana, Tiara? Bagaimana dengan bayi di perutmu, ha?!" suara ayah semakin meninggi, meminta jawaban Tiara atas masalah yang dibuatnya.Â
Kulihat ibu menyenggol lengan ayah, mengingatkannya untuk tidak berlebihan pada putri kesayangannya.Â
"Argo akan bertanggung jawab, Yah." Tiara membalas pelan.Â
Kami menghela nafas panjang, merasa lega atas jawaban Tiara. Kulihat otot-otot wajah ayah juga mulai mengendur. Ia mengatur nafasnya menjadi lebih stabil dari sebelumnya. "Nanti malam suruh Argo menemui ayah dengan keluarganya. Kita adakan pernikahan kalian secepatnya sebelum kabar ini terdengar oleh orang-orang. Tessi, Tora, ayah harap kalian bisa menjaga rahasia adik kalian."Â
Aku dan Tora mengangguk.
Hari-hari setelahnya berjalan baik, Argo dan keluarganya telah datang. Menetapkan tanggal dan membahas apapun yang berkaitan dengan pernikahan seminggu yang akan datang. Ayah sudah tak menunjukkan tanda-tanda marah, mendapat besan seorang hartawan ternyata membuat otot-otot tegangnya mengendur sempurna, tergantikan oleh senyum yang tiada pernah pudar dari wajahnya. Tiara yang beberapa hari lalu menangis tersedu-sedu kini dilayani bak ratu sebagai calon pengantin baru.Â
"Bagaimana jika para ibu-ibu itu tahu bahwa Tiara sebenarnya hamil di luar nikah?"Â
Aku terkejut, memukul lengan Tora yang entah sejak kapan ada di sampingku. "Kalau bicara dijaga, Tora. Kau tak mau kan ayah memukulimu lalu setelah itu menyeretmu pada mertuamu yang terkenal galak itu?"Â
Tora segera memberengut, mendumel seraya menjauh dariku.Â