Mohon tunggu...
Nurul Afifah
Nurul Afifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Sumatera Utara

Mahasiswi UIN Sumatera Utara Prodi Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah dan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Status Harta Warisan bagi Anak yang Murtad, Bagaimanakah Menurut Syari'at Islam?

13 Agustus 2020   11:10 Diperbarui: 13 Agustus 2020   11:14 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa murtad adalah keluar dari agama islam atau mengubah keyakinan agamanya.  Di dalam syariat islam murtad atau keluar dari agama islam adalah salah satu penghalang mendapat kan hak waris ketika pewaris nya telah meninggal dunia. Yang menghalangi mendapatkan harta warisan bukan hanya yang murtad sajaa melainkan ada beberapa penyebab terhalangnya mendapatkan hak waris.

Adapun sebab-sebab yang menjadi penghalang mendapat kan harta warisan ialah :

Pembunuhan

Pembunuhan menurut bahasa adalah menghilangkan nyawa seseorang, Menurut istilah adalah perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang baik dengan sengaja atau tidak sengaja.

Jadi, apabila seorang waris membunuh muwarisnya, maka ia tidak dapat mewarisi harta muwarisnya, karena membunuh dapat menghalangi hak mendapatkan harta warisan.

Dalam hal ini Nabi saw. Bersabda :  " tak ada pusaka bagi si pembunuh "

Pembunuhan adalah suatu jarimah yang dijatuhi hukuman yang terberat dan suatu maksiat yang dibalas dengan azab yang paling berat. Maka tidaklah layak, baik menurut akal maupun syara' bahwa mengerjakan jarimah merupakan jalanan untuk memperolah keuntungan.

Seluruh ulama syariat menetapkan bahwa pembunuhan adalah suatu penghalang mendapatkan harta warisan.

 Para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan pembunuhan yang menghalangi si pembunuh mendapat harta warisan

Hanafiyah

Pembunuhan menurut golongan hanafiyah terbagi 2 yaitu :
Pembunuhan yang langsung (mubasyarah) terbagi 4 yaitu :

Pembunuhan yang disengaja
Pembunuhan yang serupa disengaja, ialah membunuh dengan sesuatu yang lazimnya tidak mematikan
Pembunuhan yang tidak disengaja,

Apabila seseorang menembak seseorang karena disangka binatang buruan, lalu meninggallah dia maka sipenembak dipandang sengaja melakukan namun tidak bermaksud menembak orang. Apabila seseorang menembak sesuatu namun tidak mengenai sasarannya, bahkan mengenai seseorang maka dia dipandang tidak sengaja karena maksudnya menembak sasaran lain.

Pembunuhan yang dipandang tidak sengaja, seperti seseorang jatuh dari tempat yang tinggi menimpa seorang manusia sehingga meninggallah yang tertimpa itu. Kasus seperti ini tidak dapat disebut pembunuhan yang tidak disengaja, karena sama sekali tidak dimaksud kan oleh sipelaku, tetapi karena telah terjadi korban dala kenyataan maka perbuatan ini disebut sebagai pembunuhan yang dipandang tidak disengaja.

Pembunuhan yang tidak langsung (tasabbub)
Ialah yang tidak langsung dilakukan oleh sipembunuh, namun sipembunuh membuat suatu sebab yang mengakibatkan seorang meninggal.
Pembunuhan yang menghalangi mendapatkan harta warisan menurut ulama hanafiyah adalah pebunuhan yang dilakukan secara langsung baik yang disengaja, ataupun serupa sengaja atau yang tidak sengaja atau yang diapandang sebagai tidak sengaja yang semuanya mewajibkan kaffarat atau diat.

Malikiyah
Pembunuhan yang menghalangi mendapatkan harta warisan ialah pembunuhan yang disengaja yang digerakkan oleh rasa kebencian, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik yang membunuh itu orang yang berakal, ataupun orang yang sudah sampai umur, atau orang gila atau anak kecil.

Pembunuhan yang tidak disengaja tidak menghalangi mendapatkan harta warisan, masuk kedalam pembunuhan yang tidak langsung adalah menyuruh orang lain membunuh, menggerakkn orang lain untuk membunuh, menunjukkan tempat korban dan mengawasi orang-orang yang berlalu lintas, meletakkan racun, menjadi saksi palsu yang menyebabkan seseorang dihukum bunuh.

Syafi'iyah
Menurut syafi'iyah segala pembunuhan menghalangi pusaka, baik pembunuhan yang disengaja maupun tidak disengaja, baik langsung dilakukan sendiri maupun tidak, baik dengan alasan maupun tidak, baik orang yang berumur atau berakal maupun tidak, seseorang yang dianggap sebagai pembunuh adalah kepala Negara yang menyuruh membunuh seseorang, hakim yang memutus hukuman mati, algojo yang melakukan pembunuhan, saksi yang menjadi saksi dalam suatu hukum yang mengakibatkan tertuduh dibunuh dan orang yang mengakui keadilan si saksi dan orang yang tertidur yang menimpa seseorang, orang gila dan anak kecil tidak dapat menerima harta warisan dari orang yang dibunuh, atau yang terbunuh karenanya demikian pula orang yang menjadi sebab kematian seseorang, alaupun dalam rangka member ajaran atau dalam rangka mengobatinya.

Hambaliyah

Menurut golongan hambaliyah segala macam pembunuhan yang berakibat qishash, seperti pembunuhan yang disengaja tau yang mengakibatkan diyat, maupun tidak disengaja dan yang serupa disengaja atau yang mengakibatkan kaffarat, seperti pembunuhan kerabat yang muslim yang berperang dalam barisan musuh tanpa diketahui dia itu muslim. Maka pembunuh diharamkan menerima warisan. Pembunuhan yang dapat dibenarkan, maka tidak menghalangi pusaka.

Berbeda agama (Murtad )
Seluruh ulama berpendapat bahwa orang yang bukan muslim tidak menerima warisan dari si muslim, apabila sebab penerima pusaka itu akibat perkawinan, atau kekerabatan.  Maka tidak ada pusaka anatara suami yang muslim dan istri yang non muslim, perbedaan agama yang menghalangi mendapatkan pusaka dengan yang bukan muslim adalah apabila perbedaan agama itu diketahui diwaktu wafatnya yang meninggalkan pusaka.

 Karena itu seorang suami yang muslim meninggal sedang iya mempunyai istri non muslim, kemudian siistri memeluk agama islam setelah suaminya meninggal walaupun dia islam sebelum dibagi harta warisannya, namun dia tidak menerima harta warisan dari suaminya yaitu karna ada halangan perbedaan agama diwaktu dia berhak menerima pusaka. Demikianlah mazhab jumhur ulama.

Golongan hanbaliyah dan syi'ah imamiyah berpendapat bahwa perbedaan agama yang menghalangi pusaka antara muslim dengan non muslim gugur apabila istri non muslimmemeluk agama islam sebelum harta peninggalan dibagi.

Namun kalau ia memeluk agama islam setelah harta warisannya dibagi maka menurut ijma ulama ia tidak dapat menerima harta peninggalan suaminya tersebut.

Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak dapat mewarisi harta warisan walaupun  dari keluarganya sendiri, karena segala sesuatu yang dimiliki budak akan menjadi milik tuannya. jadi, setiap seseorang yang menjadi budak, gugurlah haknya untuk mewarisi dan diwarisi karena mereka tidak mempunyai hak milik.

Oleh karena itu, bukan hanya seseorang yang murtad saja yang tidak mendapat kan harta warisan tetapi orang yang membunuh pewarisnya dan yang menjadi budak tidak mendapatkan harta warisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun