Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan.
Sehingga para perantau rela berdesak-desakan mengantre tiket, kereta dan pesawat hanya demi tiba di kampung halaman sebelum Lebaran. Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik bisa saja hilang, namun membutuhkan waktu yang relatif lama.
Mudik dalam perspektif psikologi adalah bagian kebutuhan fsikologis manusia yang harus dipenuhi (Moslow) jika esensi mudik adalah untuk silaturahmi dan melepas rindu dengan keluarga dan sahabat.
Kebutuhan mudik sulit terkikis dan belum tergantikan oleh mudahnya alat komunikasi seperti : handphone, telegram, email, sky dan teleconfrence.
Lebaran asli tradisi dan budaya Indonesia, namun ada beberapa negara yang memiliki kesamaan dengan mudik seperti : China, India, Arab Saudi, Turki dan Malasyia.
Dimensi Sosial
Ayat yang menegaskan tentang hubungan mudik dengan jalinan silaturahmi merefleksikan Ukuwah Islamiyah seperti yang ditegaskan dalam ayat berikut :
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat". (QS. Al Hujurat Ayat 10)
Terdapat 4 hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi.
Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga.
Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi.