Kata yang lebih mudah dipahami ketika  menerima fakta penyiksaan batin yang  dapat diterima oleh hati  adalah mendiamkannya. Kemudian berpikiran menjadikan kebiasaan jikalau ketentuan yang diterimanya hanyalah bagian cerita kehidupan yang harus dimainkan. Bahkan jika mampu berterima kasih dengan kehendak Tuhan bisa saja menerima kekalahan untuk dijadikan kemenangan.
Meski kemenangan yang diterima  hanyalah semu, abu-abu, tidak jelas. Karena pada kenyataannya nasib yang diterima hanyalah putaran ketidakpastian.  Kemenangan yang sangat tipis dan akan luruh kala ada angin sepoi itu pun sudah cukup untuk menghibur. Sebagaimana para guru di suatu sekolah swasta yang merasa menang dengan keunggulan rancu itu masih saja bisa bercanda.
"Wah, wah ... . Pak Andi senyum senyum, habis dari kantor TU ya Pak?"
"Ya, Â masak gitu aja Bu Rini nanya, bisa dilihat dari wajah saya ini yang selalu tersenyum. Apalagi dari kantor TU mengambil honor."
"Naik gaji ya Pak Andi?" Tanya Bu Rini dengan senyum yang sedikit disembunyikan, karena ia tahu pasti jawabannya jelas yaitu, Â tidak. Dan benar saja gelengan kepala Pak Andi, dan pundaknya yang dinaikkan seakan meyakinkan pendapat pertama.
"Malah dapat potongan honor jam mengajar, gitu ya iya." Kata Pak Andi sambil menunjukkan slip gajinya. Bu Rini hanya senyum kecil melihat nominal uang yang diterimanya. Tidak sampai hati mengatakan, masak gaji satu bulan seorang guru Strata satu kalah dengan seorang pembantu tukang batu. Namun senyum getirnya segera ia sembunyikan karena gajinya hanya lebih sedikit dengan Pak Andi.
Ia lihat lagi wajah diri Pak Andi yang sedang membuka-buka jurnal, ada kegundahan, ada kegeraman, bahkan bisa juga ada pemberontakan. Namun tidak ada keberanian untuk diungkapkan hanya sikap yang semakin lama semakin kendor tidak setegar lima, sepuluh, atau dua puluh tahun lampau. Memang zaman sudah berubah usia pun juga pasti akan begulir ke senja. Dan tenaga pun akan berkurang, namun ketika ada perubahan yang mendasar pada suatu sikap pastilah ada pengaruh luar biasa.
Bu Rini  memandang ke luar jendela kantor, ada taman yang  sudah tidak terurus, lapangan upacara yang becek dan tentu saja tidak bisa digunakan untuk kegiatan, rumput liar memenuhi kanan  kiri tanaman hias dan pot-pot bergelimpangan penuh rumput. Mungkin kalimat  yang ingin disampaikannya adalah, 'mengatur taman untuk menjadi keindahan mata saja tidak bisa, apalagi membuat keindahan hati manusia?'  pikir Bu Rini.
"Bu Rini, tidak ikut mendaftar guru P3k?" Tiba-tiba Bu Harum yang juga seusia dengan Pak Andi dan Bu Rini kelahiran tahun 68 nan membuyarkan lamunannya.
"P3K, guru dengan status setengah negeri itu? Tanya Bu Rini setengah becanda.
"Jangan begitu Bu, paling tidak ada perbaikan pendapatan." Bisik Bu Harum. Seolah kata-kata itu tidak  ingin di dengar orang lain. Pak Andi menoleh kemudian tersenyum getir, Bu Rini dan Bu Harum juga sadar jika kata-kata yang disampaikan olehnya sedikit banyak menambah getir Pak Andi.
Sebagai guru yang sudah lama mengabdikan dirinya (jika kata mengabdi masih diakui) rasanya sangat sakit ketika harus keluar dari tempat yang telah berpuluh-puluh tahun merasakan kesukaan dan kedukaan. Dahulu tempat ini sangat menjanjikan untuk menjadi tumpuan masa depan. Suasana kerja yang menyenangkan, gaji yang cukup untuk membiayai anak sekolah. Namun ketika kejujuran sudah dianggap tidak penting lagi maka petaka itu pun di mulai.