Pengelola mendapat pemasukan dari para penjual. Serta penjual pun dapat kompensasi berdagang di taman simbiosis mestinya. Jikalau seluruh taman di kota-kota kecil berlaku kenyataan seperti itu sepertinya tidak ada lagi ruang terbuka hijau, yang adalah ruang pasar umum.
Pengelolaan taman di Pati yang steril dari pedagang hanyalah yang berada persisi di depan Sekda, sebelah timur masjid agung Pati. Hampir di pastikan seluruh ruang publik hijau yang berada di 21 kecamatan di Pati hanyalah taman dengan berderet-deret penjual.
Berbicara taman kota hendaknya disempitkan dulu bukan tempat wisata bisnis, misalnya Jolong yang dikelola oleh Perhutani. Di sana jelas sekali keberadaan tempat tersebut memang untuk berwisata dan berbayar untuk tiap pengunjungnya. Tetapi taman kota hanyalah tempat yang harusnya memang ruang terbuka dengan pohon-pohon, Â bunga-bunga, jika memungkinkan memang disediakan Wi- Fi.
Ketegasan dari pemerintah Kabupaten Pati untuk meneretibkan pedagang dengan mengalokasikan pedagang ke tempat lain yang tidak mengganggu keberadaan taman acapkali mendapat perlawanan. Bahkan tidak jarang terjadinya bentrok. Tetapi melihat taman kota yang berada di depan Sekda Pati mengapa tidak bisa diterapkan juga di taman kota yang berada di  alun-alun Juwana,  alun-alun Kayen, alun-alun Tayu yang lambat laun sudah berubah tidak lagi menjadi taman tetapi menjadi taman berdagang.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H