Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Jabotabek dan daerah-daerah lain untuk sementara waktu hingga awal  Maret 2022 ditutup. Pertimbangan penutupan tidak lain karena sekolah telah terkontaminasi  bahkan dikhawatirkan sebagai kluster tinggi sebagai penyebab penyebran Covid 19 varian Omicron , bahkan ada yang menyatakan sebagai gelombang Covid-19.Â
Meskipun hanya kurang dari 25 sekolah yang terkena dan itu pun tidak seluruh siswa namun melihat kasus yang sudah-sudah maka dengan 99 kasus tidak menutup kemungkinan sekolah lainnya  pun kena imbasnya.
Terlebih varian ini penyeberannya sangat cepat bahkan WHO menyatakan Omicron sebagai VOC (Variant Of Concern) atau varian yang perlu perhatian. Di samping varian yang sudah ada semisal Alfa, Beta, Gama, dan Delta. Setiap varian mempunyai karakteristik masing-masing, namun yang paling heboh karena banyaknya jiwa yang harus direnggut melaluinya adalah varian Delta.
Ketika Varian Delta merebak pada bulan Juni tahun 2021 Sebagian besar sekolah di Indonesia melakukan pembelajaran melalui daring. Sehingga dampak virus  tersebut tidak begitu terasa oleh sekolah-sekolah. Namun berbeda dengan varian Omicron yang mulai merebak di Indonesia akhir-akhir  ini, kemudian siswa pun diizinkan  masuk sekolah meskipun masih belum bisa terisi 100 persen.Â
Meskipun masuk sekolah belum secara penuh menggunakan sistem dua kali sif, Â dengan artian hanya 50% siswa yang masuk. Atau siswa masuk selang seling-seling, satu hari libur satu hari berikutnya masuk.
Namun sayangnya ketika varian Omicron mewabah seolah orang sudah lupa jikalau COVID selalu mengintai dan masyarakat dunia membuka kran pergaulan seolah tidak terjadi apa-apa. Di situlah wabah pandemi kembali datang. Tidak luput dunia pendidikan seolah mempunyai euforia. Semangat yang luar biasa itu timbul karena hampir dua tahun tidak ada tatap muka sama sekali lewat KBM.
Segala upaya dilakaukan  oleh manajemen sekolah dari  mempersiapkan perlengkapan yang dianggap memadai bahkan tim satgas covid sudah terbentuk. Namun satu hal yang kurang diperhatikan adalah, siswa itu sendiri.
Usia siswa SMP hingga SMA adalah anak yang mempunyai sikap sosial dan keinginan untuk berinteraksi yang sangat tinggi. Kebebasan yang tidak di dapat selama hampir dua tahun itu akan digunakan seluas-luasnya untuk bertemu kembali dengan teman sebaya baik di sekolah kemudian dilanjutkan pergaulan di luar sekolah. Sehingga sebenarnya tidak perlu kaget belebihan kalau kasus Covid sangat mudah merebak di lingkungan sekolah.
Menutup Sekolah Kembali dan Melakukan Daring Murni Bukan Pilihan Bijak
Tarik ulur antara pemerintah pusat  dengan Pemda  untuk menutup seluruh daerah yang terimbas Covid adalah pilihan yang realistis namun belum dikatakan benar. Karena sebagian besar bahkan seluruh pendidik, karyawan sekolah, siswa, bahkan sebagian besar masyarakat divaksin hingga dua kali maka herd imunity sebenarnya sudah terbentuk.
Menyamakan keadaan kemudian perlakuan yang sama pun di pilih oleh pemangku kebijakan dalam hal ini tim Covid Nasional dengan pola yang sama ketika varian Delta mejadi pandemi menakutkan sementara masyarakat belum divaksin dengan masyarakat yang sekarang sudah divaksin bisa dikatakan langkah mundur.
Setelah ratusan triliun digelontorkan pemerintah untuk pengadaan vaksin kemudian vaksinasi secara masif di Indonesia dan hasilnya negara kita bisa disejajarkan dengan negara maju dalam hal penanganan Pandemi Covid tetiba melakukan langkah pembatasan kegiatan masyarakat hingga level 3 yang sama artinya masyarakat harus mengulang kembali kegiatan dua tahun silam yaitu dengan bekerja dari rumah. Dan dengan pembatasan kegiatan masyarakat ke level 3 di dunia pendidikan  maka langkah yang bisa dikatakan ada progres harus surut kembali.  Sikap kehati-hatian sudah sewajarnya dilakukan untuk menjaga hal yang lebih buruk.
Kehati-hatian yang rasional bisa saja dilakukan dengan cara menjadikan sekolah sebagai laboratorium besar untuk mempersempit covid itu sendiri. Jika semula pendidikan episentrum ketakutan jika kran dibuka seluas-luasnya akan terjadi wabah yang luar biasa mengapa pola sebaliknya dipakai yaitu lembaga pendidikan  dijadikan sebagai pusat kegiatan untuk mengeliminir penyebaran  Covid.
Lembaga Pendidikan Tidak Hanya Dijadikan Objek Pencegahan Covid-19
Menakut-nakuti siswa secara berlebihan tentang bahaya Virus Covid cara adalah yang paling mudah untuk menjauhkan siswa dari pergaulan secara masif. Namun tidak bijak jikalau cara itu selalu dikedepankan oleh Satgas Covid, pejabat, hingga guru. Dan sayangnya cara itu lebih banyak dilakukan dripada mengajak siswa untuk mencegahnya.
Sekolah sebagai agen perubahan sudah semestinya mengambil peran dalam pencegahan, bahkan pengenadalian pandemic Covid. Kurang apa di sekolah itu? segala peralatan dan perlengkapan sudah ada. Bahkan Sumber Daya manusianya selalu siap untuk diajak kerjasama. Tinggal pejabatnya ada kebijakan atau tidak. Jikalau elemen Satgas Covid mau dan care turun langsung secara periodek ke sekolah-sekolah bukan hanya ceramah.
Sekarang ini setelah dua tahun setelah Pandemi Covid bisa dikatakan saat yang bagus untuk menanamkan kembali nilai-nilai  yang baru di dunia pendidikan.  Jika selama ini retorika memandirikan cara pendidikan mengapa tidak digunakan cara yang anti mainstream. Mendayagunakan sistem yang sederhana.
Aksi nyata yang rutin dari pejabat Satgas Covid bisa dalam bentuk posko yang tidak harus  berdiri sendiri tetapi bisa saja melebur di ruangan guru atau di ruangan BP yang bisa secara langsung bekerja sama dengan Satgas yang ada di sekolah. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah masyarakat itu sendiri. setelah di sekolah-sekolah diajarkan untuk berkehidupan secara bersih agar terhindar dari  Covid masyarakat dan keluarga pun juga menerapkan pola  sama dengan apa yang telah di terima anak di sekolah.
 Â
 Wassalam,
Pati, 9 Pebruari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H