Sandya kala di Parang Garuda
(VI)
Gunung Muria terlihat berpayung awan namun agak tipis tidak setebal biasanya. Bahkan pada suatu waktu pernah terjadi panas di siang hari hingga hampir memecahkan batok kepala namun anehnya gunung Muria berselimut awan dan berkabut yang tebal. Â bahkan ada yang menyangka kalau awan itu akan selalu ada di atas gunung muria.Â
Jikalau awan itu pergi, orang-orang yang menempati di kaki gunung  Muria, di lembah-lembahnya hingga Kadipaten Carang soka yang berada di tanah subur karena diari sungai yang berasal dari air Rahtawu yang mengalir hingga Juana berakhir di laut, meyakini akan menemui peristiwa yang tidak menyenangkan.
Seperti konon cerita gunung Muria awalnya terpisah dari Jawa Dwipa berhari-hari tidak berpayung mendung terlebih kabut,  hingga pada suatu waktu gunung itu meletus sangat dahsyat memuntahkan seluruh isinya hingga terdengar sampai ke Swarna Dwipa. Karena letusan yang dahsyat yang terjadi antara tahun 300 Masehi itu terjadi  pengendapan di laut sekitar gunung yang sangat luar biasa.Â
Dan  endapan itu pun  lambat laun dapat menyatukan daratan dan gunung yang terpisah itu. Cerita itu dituturkan dari mulut ke mulut kalau gunung Muria sudah menyatu dengan daratan akan ada peadaban baru di tanah sekitarnya. Terutama wilayah yang orang-orang yang dapat melihat gunung Muria secara langsung. Â
Sementara itu di hutan perbatasan Carang Soka, Singopadu hanya memandang ke gunung Muria yang tampak pucuknya saja karena tertup hijau daun hutan yang lebat. Sesekali dirinya melihat ke angkasa dengan cemas, seolah-olah mengkhawatirkan sesuatu. Tidak sekali bahkan berkali-kali Singopadu melakukan hal yang sama, sehingga para prajurit pilihan yang selalu menyertainya menjadi bertanya-tanya namun ketika akan bertanya tidak ada pikiran itu dipendam dan tidak pernah sampai di lidah.
"Ah, itu akhirnya datang juga." Singopadu melihat ke angkasa kemudian dilambaikan tangannya dan merentangkan tangan kanannya. Tiba-tiba menukik seekor burung merpati dengan cepat dan hinngap tepat di tangannya. Sekarang para prajuritnya baru mengerti akan kegelisahan tuannya. Setelah Singopadu memegang burung itu di tariknya selembar benang yang berada di sayap merpati itu. Kemudian dia mengangguk angguk, dan tersenyum lebar. "Mari kita menghadap Adipati Puspa Andung Jaya." Ajak Singopadu sambil memasukkan merpati ke sangkarnya yang telah terisi makanan kesukaannya. Beras hitam dan kacang hijau.
Matahari pun sudah mulai condong ke barat ketika dirinya sudah berada di ruang pribadi Sang Adipati. Meskipun hari ini bukan saat pisowanan, namun untuk Singopadu segala saat dapat digunakan untuk menghadapnya. Saat dirinya sudah berada di depan balai pribadi  Adipati,  penjaga pintu itu pun segera mempersilakan Singopadu untuk masuk. Penuh takzim dirinya masuk ke ruang tamu yang ada. Meskipun dirinya orang kepercayaan namun tatakrama tidak pernah ditanggalkan. Dirinya selalu menyadari sang Adipati sebagai manusia pilihan Sang Yang Widi untuk memimpin di wilayah Carang Soka.
"Silakan Paman Singopadu, jangan sungkan-sungkan." Kata Sang Adipati, "Pasti ada berita yang sangat penting,"
"Ada hal yang ingin hamba sampaikan, bahwa rombongan temanten dari Parang Garuda sudah dalam perjalanan. Dan menurut perhitungan hamba sebelum matahari terbenam akan tiba di Carang Soka" kata Singopadu dengan pandangan yang lurus tidak mendongakkan kepalanya hingga menatap mata Adipati Puspa Andung jaya.
"Memang begitu rencananya, Kadipaten Parang Garuda sebagai tetangga Negara memang tidak begitu jauh. Lalu apa yang aneh Paman?" Kata Adipati Puspa Andung Jaya dengan nada agak sedikit tinggi. Karena setelah sebagian syarat terpenuhi mau tidak mau dirinya harus menyetujui hari pernikahan putinya yang telah ditetapkan.Â
Sebenarnya dirinya sudah mengajukan syarat yang sangat berat. Namun ternyata Adipati Yudhapati dapat memenuhinya. Sebenarnya dirinya ingin menolak, namun ia tahu jika hal ini dilakukan maka Carang Soka akan dibumihanguskan dan itu bisa saja terjadi karena angkatan perang Parang Garuda lebih kuat.
"Maaf Kanjeng Adipati, ternyata di belakang rombongan itu Parang Garuda telah menyiapkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan bisa dikatakan seluruh pasukan telah disiapkan."
"Paman, tidak mengada-mengada bukan?"
"Ini buktinya Kanjeng." Kemudian Singopadu mengeluarkan benang merah yang merupakan kata sandi yang hanya dimengerti oleh dirinya dan prajurit telik sandi yang dimiliknya.
Setelah mengetahui sandi yang dibeberkan oleh Singopadu, tampak Adipati melangkah ke jendela melihat ke taman dan mencoba menikmati suara gemericik air yang mengalir dari aliran gunung Muria. Suasana yang biasanya teduh dan bisa menghilangkan kekalutan hatinya sekarang tidak bisa mengubah apa pun di hatinya. Napas landung keluar menandakan hati yang sangat kusut. "Duh Gusti apakah yang terjadi nanti dengan rakyatku? bukankah dengan mengawinkan putriku yang semata wayang akan dapat merukunkan dua kadipaten ini. Sekarang apa yang harus aku lakukan?" Adipati Andung Jaya berkata sendiri. Dan Singopadu yang telah purna ilmu kanuragannya mendengar dengan jelas kata-kata lirih junjungannya.
"Kanjeng Adipati, jikalau sekiranya hamba boleh mengusulkan... Â seyogyanya Kanjeng Adipati meminta bantuan ke Majasemi."
"Apakah kamu yakin Paman, kalau pengageng Majasemi bersedia membantu."
"Hamba yakin mereka bersedia,  karena setelah kejadian waktu itu adanya pencuri yang mencoba mengambil pusaka mereka dan ternyata setelah ditelurusi pencurinya adalah orang  suruhan dari Parang Garuda. Mereka masih marah, jadi jikalau diminta untuk berperang akan bersedia apalagi digabung dengan kekuatan Carang Soka." Kata Singopadu,"Kanjeng Adipati, yang lebih penting lagi mereka mempunyai pusaka keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro. Kedua pusaka itu sudah bisa dikatakan separuh kekuatan kita nanti."
Mendengar usulan dari Singopadu, dirinya sangat gembira ada secercah harapan, hanya saja dirinya berharap peperangan tidak terjadi karena bagaimanapun hasilnya akan membawa kerugian di kedua pihak. Tanpa banyak lagi pertimbangan dirinya mengutus Singopadu  segera menemui pengageng Sukmayana Sementara dirinya sendiri bersama pembesar Kadipaten akan menjemput kedatangan adipati Yudhapati dan rombongan.
Hari pun terasa panjang bagi Adipati Puspa Andung jaya, meskipun antar waktu siang hari menuju sore tidaklah lama. Namun menanti dengan hati was-was menjadi siksaan yang sangat berat. Dirinya mencoba menenangkan pikirnya dengan melakukan kebiasaanya, melihat burung derkuku  berterbangan di atas pohon-pohon gayam yang banyak tumbuh di pinggir kali belakang Kadipaten. Dan menyaksikan mereka bercengkerama dengan kekasihnya dan anak-anaknya yang menunggu di sarang.Â
Kali ini hatinya sudah bisa menikmati keindahan itu karena permasalahan yang ada sedikit banyak sudah ada jalan keluarnya. Matahari sepenggalahan dari gunung Muria ketika tampak debu yang mengepul tebal di ujung jalan masuk perbatasan kotaraja kadipaten yang menurut telik sandi rombongan kadipaten Parang Garuda sudah akan sampai. Ada sedikit kegugupan di wajah Sang Adipati, ketika akan merangkai kejadian nanti.
(Pati, 11 Oktober 2020)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H