Pagi  belum habis matahari masih suam-suam kuku pikiran sudah menuju pada satu kata, sarapan. Kalau hari-hari biasa yang disibukkan dengan rutinitas kerja  makan di pagi hari  tidak jadi masalah, dua sendok nasi satu telur cukup untuk pengganjal perut sampai nanti di tempat kerja antara jam 9 atau 10 sarapan kedua.Â
Tetapi kalau seperti ini inginnya makan yang ringan tetapi kenyang sampai siang. Ketika masih berbincang tentang menu pagi ini dengan anak serta istri,  tiba-tiba teman SMA istri  membawa hantaran dua bungkus nasi. Dan kelihatan unik, karena ini makanan bentuknya "tum-tuman" atau nasi yang besarnya kira-kira dua kepal tangan orang dewasa dan dibungkus dalam daun jati.
Wah ini memang makan yang enak sekali karena ada terinya. Tetapi ada yang membuat plesetan enak karena "diteri" atau enak karena dihantar. Atau kata lain enak karena rasambayar, atau  atau bermerk  ratu (ratuku) tidak membeli. Kalau bahasa sederhananya gratisan. Bukan karena itu semua Sego bontot enak, karena rasanya memang pedas-pedas segar seperti ada mint-nya. Padahal tidak ada daun mintnya.
Kalau tempat asal saya sana di daerah Klaten. Kalau akan ada kerja atau gotong royong biasanya makanan khas  yang disajikan adalah nasi dengan sayuran kangkung atau cenil. Bahkan kadang-kadang sayur gori. Bahkan kemarin saat akan ada kerja gotong royong makanan yang disajikan sudah berbeda lagi.Â
Oseng-oseng labu siam, sehingga selalu berbeda tiap waktu. Namun ada masakan yang khas di derah asal saya yang masih teringat adalah menu "wiwit" atau makanan yang disajikan ketika akan memulai memotong padi. Hanya nasi yang diambilkan dari "donak" kemudian ditempatkan di daun pisang kemudian ditaburi sayur-sayuran yang "diurap" dengan kelapa yang sudah dibumbui kemudian diberi irisan daging ayam jawa. Tetapi itu dahulu mungkin sekarang sangat langka.
Kembali ke "Sego bontot", orang-orang di daerah Pati menamainya. Biasanya disajikan ketika seseorang punya kerja yang berhubungan dengan kerja di sawah, di ladang, di tambak, di kolam.Â
Ada nuansa sendiri ketika bisa menikmati makanan ini bersama-sama di tempat  gotongroyong. Nuansa kebersahajaan sangat terasa karena seluruh orang yang datang baik lurah, tentara, guru, petani  dan semuanya tidak ada ada sekat. Makan dengan tangan telanjang, krupuk, tempe, tahu tidak ada daging. Jika ada yang mau tambah ya nasi dalam bungkusan itu lagi.
Memang begitu adanya, makanan ini sudah disajikan dalam kurun waktu yang lama. Bentuk penyajiannya pun  ada di atas piring. Berdampingan dengan makanan khas pati lainnya misalnya sego gandul, sego tewel, semur dan ketika sajian campuran sego bontot dipisah maka ciri khasnya tidak tampak. Karena memang kekhasannya adalah disajikan dalam bentuk "tum-tuman" dan dibungkus daun jati dan separo daun pisang.
Karena mungkin kekhasannya menu ini jarang didapatkan di pasar, atau dijual di warung-warung. Kalaupun ada pasti dalam hitungan menit sudah habis. Karena rasa yang unik dan  demikian sederhananya, sehingga sangat berkesan di memori rasa.
Apalagi penggemar kuliner khas dengan bahan sederhana, pastilah akan memesan makanan ini pada penjualnya jika kebetulan hari pasaran di pasar  tradisional daerah Gabus dan sekitarnya. Bahkan teman saya itu rela menghantarkannya hingga ke Juwana yang berjarak 20 km karena sudah diberi tahu akan ada kerja dan makanan  yang disuguhkan adalah Sego Bontot.
Pastilah yang pernah merasakan akan selalu menunggu nasi tum-tuman ini. Sebenarnya bisa setiap orang membuatnya karena bahan-bahan yang dibutuhkan pun di pasar sangat banyak tersedia. Bahkan bisa dibilang ditiap warung tersedia, tinggal beli kemudia memasaknya di rumah.