Shakespeare pernah mengatakan apalah arti sebuah nama. Bunga tanpa diberi nama pun akan tetap wangi. Dan mengapa harus ada nama mawar untuk bunga yang mempunyai ciri,  bertangkai seperti ada durinya, mempunyai lima helai kelopak mahkota, dan yang jelas wangi.  Mempunyai  bermacam-macam rupa, ada yang berwarna kuning, putih, merah, biru, ungu. Apakah ciri-ciri yang  itu banyak emudian disebutkan hanya dengan satu kata yaitu mawar sudah bisa mewakili. Itu baru bunga mawar.  Aku pandangi lagi mawar di pot depan rumah setelah hujan.
Bunga lainnya juga  aku pandangi, anggrek, dahlia. Mengapa harus dinamai juga. Mengapa tidak disebutkan bunga saja. Biar Shakespeare senang dengan pendapatnya, bahwa nama tidak penting. Yang utama adalah barang itu sendiri. Dan apakah manusia tidak penting dengan mempunyai nama? Jika tidak penting mengapa semua manusia mempunyai nama. Apakah tidak cukup jika memanggil nama mereka dengan panggilan, " he", "ho", "be", suka-sukalah yang memanggil asal si he, atau si ho, atau panggilan apalah yang penting menengok kalau dipanggil.
Saat masih kecil aku tidak begitu mempermasalahkan tentang nama, karena aku lelaki dan anak pertama selalu dipanggil  Mas, sudah itu saja. Tidak ada embel-embel lain, karena kebiasaan di rumah ayah dan ibu memanggilku dengan sebutan mas maka ketika bermain teman sebaya memanggilku dengan sebutan mas juga. Sampai sekolah dasar selesai semuanya masih memanggilku dengan sebutan yang diberikan oleh orang tuaku, yaitu mas. Ibuku sangat bangga dengan namaku, seolah-olah namaku adalah intan berlian yang tidak boleh disebutkan ke semua orang. Makanya ibuku memanggilku dengan sebutan mas saja.
Hingga aku sekolah di SMP, mulailah tahun pertama di kelas satu dimulai. Semua teman sekelas lelaki maupun perempuan tidak mempermasalahkan namaku. Dan aku sendiri sangat senang dengan namaku, karena mengandung keindahan. Semuanya serba wajar ketika guru menyebutkan satu persatu nama semua temanku. Ada yang seperti keArab-araban, misalnya Abdul Hadi, Hanifah. Atau ke-Jawa-jawaan, Suwignyo, Raharjo. Atau kebarat-baratan, Roy, albert. Dan semuanya hanya mengacungkan tangan, paling tidak hanya bilang ada Pak, dan tidak menyebutkan artinya juga.
Misanya saat temanku Cahya, anaknya pendek sangat gendut, rambutnya keras seperti ijuk, dan berkulit tidak terang. Seterang cahaya. Apakah  nama atau  anaknya yang salah, aku tidak tahu. Yang aku tahu saat pelajaran Cahya sangat cerdas. Atau maksud nama cahya adalah bisa menerangi orang lain dengan kepandaiannya. Bisa juga begitu. Sedangkan aku sendiri, setiap guru memanggil namaku ada yang senyum-senyum. Dan tidak aku artikan apa apa senyuman mereka hingga aku lulus SMP.
Aku lanjutkan pendidikan SMA di kota, Â Lumayan jauh dua puluh kilometer dari rumah. Â Sepeda kukayuh pagi itu dengan penuh semangat, seragam abu-abu putih yang baru selesai dijahit, penuh keringat setiba di sekolah. Setelah menyandarkan sepeda, segera kucari namaku di papan sekolah untuk mengetahui di kelas apa nanti. Setelah ikut berjejal, aku urutkan namaku dengan nama depan S Â namaku tertera di sana, di kolom empat di papan ketiga masuk di kelas X.3.
Betapa saat itu setelah menapaki jenjang SMA sebuah nama mempunyai suatu arti meskipun belum begitu aku perhatikan dengan sangat. Arti itu timbul manakala temanku saat perkenalan disebutkan namanya ada yang memberikan penilaian. Wah namanya secantik orangnya, atau wah seganteng orangnya. Atau pantas sekali dengan namanya. Dan saat guru menyebutkan namaku seluruh kelas bergemuruh, tertawa pun tidak bisa dihentikan. Sampai guru harus berteriak meminta seluruh murid untuk diam. Aku melihat wajah guruku saat itu juga sedikit menahan tertawa namun di tahannya.
Mulai saat itu aku menjadi sangat terkenal dengan nama yang aku sandang namun membuatku semakin menghindar kala mereka memanggil namaku. Seolah-olah nama yang disandang adalah aib.  Nama yang  hanya menjadi bahan tertawaan, dan  ketika memanggilnya harus di awali dengan tertawa. Bahakan jika disebutkan namaku  saat banyak orang, maka  akan disambut dengan  bermacam-macam celetukan.  Di saat seperti itu emosiku kadang tidak bisa dipermainkan, ingin aku hajar mereka satu persatu terutama yang memanggil namaku seenaknya.
Namaku adalah  pilihan ibu yang sangat aku kagumi dalam hidup dan diundangkan oleh ayah ke seluruh tetangga dengan pesta potong kambing. Sejak itu nama yang diberikan adalah mempunyai nilai keramat bagiku. Tidak boleh disebutkan dengan bermain-main. Dan bagaimana caraku untuk  menjaga harkat martabatku saat itu adalah dengan cara yang keras. Aku tantang berkelahi yang menyebut namaku dengan tidak hormat.  Cara seperti itu memang ampuh tidak banyak lagi yang  memanggil namaku dengan sembarangan. Namun dengan cara itu musuhku semakin banyak. Seolah mereka-merekalah yang pernah menyebutkan dengan cengengesan membentuk gang sakit hati karena tidak bisa lagi memanggil  namaku seenaknya.
Pada sore yang panas berdebu sebab sisa-sisa tapak mobil truk proyek pengangkut tanah, ada peluh yang tersisa dari  kayuhan sepeda tuaku. Melewati jalan tanah berbatu nan debu jika musim panas, dan jalan penuh genangan air dan berlumpur  jika musim hujan. Hampir masuk desa  ketika aku dengar suara gelak penuh tawa memanggilku. Aku pusatkan pendengaranku, oh anak  kelas sosial itu lagi,  belum kapok rupanya. Tempo hari  gegara menyebut namaku dengan nada mengejek aku telikung seperti ayam keiket kakinya kemudian teriak-teriak minta ampun.
Sudah pada prinsipku siap saja menyebut nama pemberian ibuku dengan sembarangan akan menerima pembalasan setimpal. Aku sandarkan sepeda tuaku aku datangi anak itu. Ketika langkah semakin dekat keluarlah teman-temannya. Satu banding lima.
"Ini ya orangnya yang Bos ceritain kemarin." Salah seorang yang berpustur sangat gempal.
"Di cincang Bos?" teriak satunya lagi yang mempunyai rambut keriting.
Sambil melihat arena sekitar aku lirikkan mata, seuruh indra terpusat pada posisi masing-masing yang sudah pasti berniat tidak baik. Berlima mereka tidak membentuk suatu formasi layaknya orang yang pernah belajar beladiri. Aku jadi lega. Segera tanpa banyak ngomong di saat anak kelas tiga Sosial yang kemarin aku telikung berteriak serang. Aku dahului dengan menyerang salah seorang yang sangat lemah. Rupanya mereka tidak menyangka kalau aku mendahuluinya. Pada gerakan ke lima dua anak sudah roboh bergulingan di tanah.
"Percuma aku bayar kalian, segitu aja ya punya nyali." Kata anak sosial itu
Rupanya di antara mereka masih ada yang berani menyerang, segera aku elakkan badan ke kanan sedikit saat tangannya lurus menyerang. Tanpa banyak pikir aku telikung juga tangannya dan sentakan tanganku mendarat di tengkuknya namun tidak dengan penuh tenaga namun cukup membuatnya terjungkal. Melihat tiga orang sudah rebah, dua temannya ragu-ragu untuk melanjutkan pengeroyokkan. Mereka berlutut memohon maaf. Â Aku pun tersenyum selalu ingat kata ibu, setiap manusia harus menyayangi sesamanya.
"Ya aku maafkan kalian. Dan ingat namaku, Sayang dan aku lelaki.!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H