Ada istilah bahasa Jawa, Curigo Manjing Warangka  yang bisa diartikan secara bebas yaitu keris atau senjata masuk ke dalam tempatnya (sarungnya). Keris yang indah akan  menjadi senjata misteri yang tidak memperlihatkan jika  senjata tersebut bisa digunakan untuk membunuh saat berkelahi.  Tetapi karena adanya warangka maka keris itu menjadi tidak menakutkan bahkan ada ada nilai keindahan.
Coba bayangkan saja jika suatu senjata yang diapakai tanpa adanya pengaman, maka bisa saja membuat malapetaka bagi empunya.  Pengertian warangka  atau sarung senjata  mempunyai makna wadah atau tempat untuk menyimpan kembali senjata. Dan warangka tanpa  adanya  keris maka hanyalah benda yang tidak mempunyai fungsi apa-apa.
Saya menggunakan ibarat tersebut untuk membandingkan seseorang yang mempunyai kapasitas menjadi pemomong atau pengasuh bagi orang lain. Sebagaimana warangka, sang pengasuh akan selalu bisa menjembatani segala amarah yang bisa menyakiti bagi pemiliknya.Â
Segala kebijaksanaan yang ada pada tuannya ibarat keris dapat  diarahkan  sebagaimana  senjata bagi ksatria hanya digunakan untuk melindungi diri, atau mencabut keangkaramurkaan. Semestinya begitu.
Sang pengasuh  atau kalau diibaratkan warangkanya bisa berperan sebagai  pembantu yang baik seperti semar dan punokawannya dengan para pandawanya dalam cerita Mahabarata, versi wayang Indonesia. Tokoh punokawan selalu setia mengikuti kemana saja tuannya pergi. Setia dalam kesegembiraan dan tidak pergi manakala tuannya dalam kesedihan.Â
Mereka pun akan selalu tidak ragu-ragu untuk  mengingatkan tuannya jika ada kekeliruan dalam tindakan. Â
Karena ada juga warangka atau tempat senjata yang tidak berfungsi memberi keindahan, bahkan merusak estetika dan fungsi keris itu sendiri. Kalau dalam pewayangan sang tokoh dialah Sengkuni mahapati dari kerajaan Astina dengan sang raja Suyudana. Seharusnya sang pengemban dapat memberikan nasihat kebaikan tetapi malah menjerumuskan tuannya kepada kehancuran.
Dua benda yang akan terlihat sangat serasi bahkan dari warangka  yang berbentuk sangat mewah akan lebih menyimpan kerahasiaan yang mendalam tentang keris itu sendiri. Karena bagaimanapun juga Sebagaimana menjulangnya Mahapati Gajah Mada yang menjadi orang nomor dua di kerajaan majapahit setelah sang ratu Trebhuanatungga Dewi.
Sang maha pati bisa memberikan ketenaran luar biasa bagi kerajaan. Bahkan mungkin di antara kita lebih mengenal Gajah Mada sebagai raja Ya? Hehehehe...
Pada zaman Indonesia dibangun pastilah kita  akan menampilkan dwitunggal, Moh. Hatta dan Ir. Soekarno. Satu tokoh Bung karno mempunyai kapasitas sebagai keris sedangkan Bung Hatta sebagai warangka nya.  Semangat berpolitik Soekarno yang meledak-ledak tidak diikuti sikap yang sama oleh Pak Hatta.
Pak Hatta dalam sejarahnya sangat berhati-hati dalam berpolitik tidak tampak kegaduhan-kegaduhan akibat dari keputusannya. Pak Hatta selalu mendampingi Bung Karno dalam menyelesaikan urusan pelik kenegaraan.  Begitulah padanan untuk warangka  yang indah.
Zaman Presiden Soeharto pun ada orang kedua namun beliau tidak masuk dalam pemerintahan, sebagaimana Gajah Mada ataupun Bung Hatta.  Ibu Tin Soeharto, ya beliaulah menurut saya yang menjadi ruh  atau yang menjadi warangka  luar maupun dalam selama presiden Soeharto memerintah Indonesia selama 32 tahun lebih.
Ibarat Soeharto Romeonya, Ibu Tin Soeharto adalah Julietnya. Ya kira-kira begitu selama saya hidup pada masanya. Sangat klop, Â Karena dalam darah Bu Tin Soeharto mengalir darah biru dari trah Mangkunegaran Surakarta, pastilah mempunyai kepemimpinan yang hebat namun tidak ingin ditonjolkan.
Setelah era reformasi ada satu sosok sebagai warangka atau wadah keris yang sangat indah pada masa ini. Seorang putra bangsa yang dilahirkan di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942. Di bawah naungan bintang Taurus. Seorang pemikir yang cerdas, dan sangat visioner, dialah Muhammad Jusuf Kalla. Beliau adalah seseorang yang menjadi generasi besar pada masa edarnya.
Sejajar dengan tokoh-tokoh besar pada sejarah nusantara. Kesejajaran bisa ditempatkan sebagai wakil atau orang kepercayaan yang dapat menjadi penampung keruwetan-keruwetan seperti, Gajah Mada, Hatta, hingga para punokawan.
Warangka  yang indah akan dapat menerjemahkan kesaktian dan kewibawaan keris. Demikian halnya Jusuf Kalla saat masih berperan di tingkat partai Golkar,  saat gonjang-ganjing dari perubahan orba ke refomasi dari pergantian Akbar Tanjung Hingga Setya Novanto secara cakap dan elegan didinginkannya suasana yang menjurus ke perpecahan. Kegaduhan-kegaduhan itu di tangan beliau cukup arif diselesaikan.
Dan saat menjadi Wapres gejolak-gejolak  besar menyangkut keutuhan bangsa Indonesia, dari poso hingga aceh dapat  diredam. Hingga keberanian-keberanian yang tidak populis pun berani beliau lakukan misalnya BTL pada Masa Presedien SBY. Namun keputusan-keputusan yang diambil adalah benar pada masa dan situasinya.
Sifat yang tidak ingin menang, lebih menyukai tantangan menjadi orang nomor dua namun serasa nomor satu telah didapatkan oleh Jusuf Kalla. Hanya sekarang saya berharap setelah beliau tidak dalam struktur pemerintahan masih bersedia untuk tetap menjadi warangka  masyarakat Indonesia. Tetap merakyat berdiri untuk siapa saja. Terimakasih, Pak JK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H