Tak apalah, bangsa kita sangat santuy untuk segala hal termasuk urusan kesehatan. Jadi tidak perlu teriak-teriak atau menangis cukup cari kesibukan lain. Saya keluarkan gawai dari tas, kemudian berselancar di dalamnya. Capek main gawai, saya ambil tempat dan memosisikan diri agar strategis untuk bisa tidur sambil duduk.
Lebih jam tiga malah mendekati jam empat rupanya, semoga tidak bermimpi pikirku. Biasanya kalau hal itu terjadi pasti di sudut bibir akan basah. Alias ngiler. Ternyata ujung bibirku basah, jadi saya bermimpi.
Setelah kuusap dengan ujung lengan baju (kebiasaan dari kecil) saya menuju ke ruang praktek dokter mata untuk memastikan kalau beliau sudah datang. Ternyata dugaanku benar Pak dokter sudah datang dan di depan ruangan sudah penuh orang yang akan periksa.
Saya sodorkan nomorku ke perawat, dan katanya disuruh menunggu sebentar. Sebentar benar atau benar-benar sebentar, sudah ndongkol sekali. Dari jam sepuluh sampai jam empat, enam jam, dengan kemarin saat mencari rujukan hampir satu setengah hari harus memfokuskan diri untuk mendapatkan suratnya. Mengabaikan pekerjaan lainnya.
Dan saat bertemu dengan sang dokter kemudian diperiksa sebentar, kegaduhan di perasaann saya hilang seketika. Di hadapan sang dokter yang sangat ramah ini hanya dikatakan kalau penglihatan saya tidak bermasalah hanya faktor usia katanya. Kalau bahasa gampangnya mata saya sudah plus (+) alias rabun dekat. Sehingga saran Pak dokter, harus menggunakan kacamata baca, itu saja.
Setelah kelar periksa saya diberi tulisan khas dokter tidak bisa dibaca oleh orang umum, yaitu resep. Dokter tersenyum saya pun tersenyum menerima resepnya dan diberi rujukan lagi ke tempat optik yang telah ditentukan. Terimakasih dokter, Bapak sangat sabar meski saya periksa menggunakan BPJS.
(Pati, 2 Oktober 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H