Namun suatu waktu ada pemikiran mengapa tidak mencari pemasok ikan selain kang Parman, misalnya ia beli dari peladang tambak ikan meski jaraknya lumayan jauh, setengah hari perjalanan. Setelah mendapatkan pemikiran itu, niatnya dibulatkan. Pagi harinya dengan menyewa bentor (becak montor) pergilah ia ke penjual ikan tambak kenalannya. Dan benar saja setelah kulakan itu stok ikan di rumahnya tidak pernah kosong, dari jenis bandeng, lele, nila.Dan Parman pun tahu akan kesibukan baruku itu, malahan dia kadang-kadang membantuku mengambil ikan yang sudah dipesan.
Kesibukan itu sudah bertahun-tahun kami lakukan tidak ubahnya seperti pertemanan, tidak ada yang ganjil. Sampai suatu waktu Parman akan menikah, aku pun tidak kaget. Karena aku menganggapnya hanya sebagai teman. Itu saja. Namun kini tiba-tiba serasa kehilangan, mengapa Parman meninggal. Ada lubang yang muncul seketika, namun ia jawab sendiri toh semua manusia mati sudah dikehendaki Tuhan.
Dihirupnya udara dalam-dalam, disekanya titik air mata yang tak terasa menetes diujung pipinya, segala peristiwa dengan Parman seolah berkelabatan di kepalanya. Ia berjalan gontai, dengan bertongkat sapu ia menuju teras rumah, belum saja dirinya akan duduk sudah ada yang memanggilnya.
“Yu Santi ayo Takziah... Kang Parman tadi malam meninggal.” Panggil seseorang dengan suara setengah teriak, dari seorang perempuan sambil mendekati pintu masuk pekarangan rumah. Dan Santi pun menoleh, sebenarnya akan mengatakan kalau dirinya sudah tahu namun untuk menjaga perasaan temannya. Tidak jadi diutarakannya kalau dirinya baru saja menerima kabar yang sama. Jalan rumahnya yang dekat pasar menjadikan Santi mudah memperoleh berita dengan cepat bahkan dirinya tidak harus bertanya dengan senang hati orang-orang di pasar akan memberitahukan kejadian dari keluarganya sendiri, tetangganya, bahkan urusan negara seperti sekarang ini ramai-ramai orang demo dan pandemi corona menjadi bahan sedap untuk digosipkan.
“Malah kamu yang ke sini, aku mau ke rumahmu sebenarnya, kok sehati ya... Ya tunggu bentar aku ganti baju dulu.” Santi meninggalkan temannya di teras, suaranya dibuat sedemikan biasa menutupi kesedihan yang dirasakannya. Santi masuk ke rumah bergegas untuk ganti baju dan mengambil bakul kemudian diisi beras gula dan mie sebagai bentuk kebiasaan tolong menolong kalau ada yang mendapat kesusahan atau untuk orang yang mempunyai kerja. Bergegas Santi keluar rumah tidak lupa menutupnya.
“Ayo Roh, berangkat...” Ajak Santi pada temannya.
“Apa ya benar Yu, takziah hanya memakai atasan dan bawahan hanya daleman gitu. Tidak memakai rok.” Kata roh sambil senyum kecil.
“Duh Gusti, Kalau orang sudah berumur ya begini ini Roh.”Kata Santi sambil masuk rumah lagi meninggalkan temannya yang masih cengangas cengenges. Kali ini dipatutkan dirinya di depan cermin, setelan atasan dan bawahan hitam dipadankan dengan kerudung hitam juga. Sempat dipujinya dirinya sendiri, meski sudah berkepala lima namun guratan kecantikan sebagai gadis yang pernah disebut kembang desa masih tersisa. Santi hanya tersenyum gamang, menemui kenyataan kalau dirinya sudah mendapat gelar janda. Tidak berapa lama Santi sudah keluar rumah dengan baju yang lebih rapi, kemudian ia menutup pintu rumahnya.
“Yu , apa benar Kang Parman menemui kamu, sebelum meninggalnya” Tanya roh pada Santi memastikan berita kalau Parman menemui Santi Siang kemarin. Setelah itu malam hari Parman sampai di rumah terus meninggal.
“Kok kayaknya kamu curiga Roh?” Kata Santi sambil terus berjalan menuju rumah Parman. Namun dalam pikirnya wah gawat . Kalau sampai orang-orang berpikiran kalau akulah yang menjadi penyebab Kang Parman.
“Lho kok jadi berpikir gitu Yu..., jangan-jangan benar kata orang kalau ada yang melihat kalau Kang Parman kemarin siang bertemu dengan kamu terus diberi uang.”