Sebenarnya tatkala saya akan menulis opini tentang keriuhan bernegara saat ini ada rasa  kurang percaya diri karena sumber yang didapat hanya berita dari media cetak, medsos, maupun televisi.
Lain sekali tahun 1998 meskipun tempat saya jauh dari Jakarta namun ada eskalasi yang luas dan efeknya begitu mengguncang terasa hingga ke daerah. Bagi saya gempita yang menyesakkan dada ini merupakan suatu lingkaran yang sangat bulat antar hasil undang-undang, rancangan undang-undang, dan legitimasisi DPR, ekskutif, dan rakyat. Â
Keluar dari skenario  jika ada  yang merasa dibuntungkan atau diuntungkan akan mengakibatkan ketidakimbangan dalam cara pandang. Dan sangat wajar  cara pandang berbeda berawal dari sisi subyektivitas manusia sebagai ciptaan Tuhan yang merasa sama.
Kalau diibaratkan tubuh setiap bagian mempunyai fungsi masing-masing.  Selanjutnya fungsi yang berbeda itu akan bahu membahu membuat suatu keselarasan. Selanjutnya  pembuatan segala aturan hanyalah untuk menyelaraskan. Kira-kira begitu skenario ideal besar  dibuat
Namun tatkala keharmonisan itu tidak dijaga maka bisa ditebak akan terjadi chaos, kekacauan. RUU PKS, RUUKUHP, RUU Pertanahan adalah segelintir undang-undang yang baru saja dibuat adalah contoh hasil yang tidak menyelaraskan satu bagian dengan bagian lainnya.
Akibatnya ada suatu gerakan yang ingin mengingatkan kalau bagian dari bangsa ini ada yang salah. Terimakasih selalu kita alamatkan pada mahasiswa yang selalu berani meneriakkan dengan suara jelas tanpa beban tujuan terselubung.
Merekalah agent of change besar bagi bangsa ini dari tahun '66 hingga kemarin masih terjaga keorisinalitasannya. Yaitu menjaga tatanan bernegara agar terjaga fungsinya dengan merobohkan kesemena-menaan.
Â
Marwah sebagai bangsa yang mempunyai falsafah permusyawaratan dalam mengambil keputusan rupanya hendak diselewengkan dengan berbagai tujuan. Sebenarnya tujuan para legislator sangat mulia yaitu agar warganya mencapai kemulian hidup di dunia dan akhirat.
Namun ketika pembuatan  itu hanya mendasarkan pada satu pandangan dari sedikit elit politik tanpa melibatkan masyarakat sebagai obyek maka kesalahpahaman itu gampang sekali menyeruak.
Sebagai contoh yang berhasil diberlakukannya suatu undang-undang dan benar-benar saya ingat adalah ketika akan diberlakukannya UU No. 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan umum.
Saat itu setelelah reformasi pemerintah sangat hati-hati agar undang-undang itu tidak menimbulkan gejolak maka di setiap kesempatan dikenalkan sistem yang akan diterapkan. Dan ketika masyarakat sudah siap tentunya dengan berbagai perbaikan maka diberlakukanlah undang-undang itu.
Undang-undang no. 22 hanyalah sebagian dari ratusan undang-undang yang sudah dibuat. Dan bagaimana dengan RUU PKS dan beberapa RUU lainnya mendapat sambutan negatif hingga menimbulkan korban itu. Karena masyarakat yang akan menjadi pemakai undang-undang itu hanya mendapat bagian sepotong-potong.
Jikalau bagian sepotong itu mengenakkan untuk kelangsungan kehidupan sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak azazi dan membuat hajat hidupnya sejahtera maka tidak akan menimbulkan  gejolak berlebihan.
Memang akan memakan waktu untuk berlakunya suatu pertaturan jika harus mengenalkannya kepada khalayak. Namun disitulah letak kesantunan sebagai wakil rakyat yang mulia. Namun sekarang jika ditilik  masa edar legislator yang akan segera berakhir apakah masih etis mereka memutuskan hal stratetegis untuk bernegara?
Dan patut sangat dipertanyakan adalah dengan tingkat kehadiran kurang dari 300 dari seluruh anggota DPR rancangan itu diputuskan oleh legislator. Meskipun syarat pembuatan undang-undang harus bersama dengan eksekutif. Jika ekskutif sudah menolak mengapa harus dipeributkan kembali yang artinya rancangan itu tidak layak lahir.Â
Di sinilah titik praduga-praduga lainnya muncul... ah sudahlah saya sandarkan saja pada Tuhan segala urusan.
(Pati, 25 September 2019)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H