Jadi, singkatnya, saya mau tanya nih: "Dosaan mana hayooo: pembuat berita hoax dan penyebar beritanya?" Yang jelas, sama-sama dosa, ya, kan?
Bukan Hoax Kok, Beneraan
Kalaupun sumpah mati berita itu bukan hoax...
Yuk kita pikir lagi. Sudah benar dan tepatkah perilaku kita ketika kita men-share berita dengan judul provokatif / menarik yang kita asumsikan perlu disebarluaskan, sebelum kita benar-benar membaca secara seksama isi berita tersebut. Sudah tepatkah perilaku kita ketika kita tak bisa menahan diri untuk tidak ikut-ikutan mem-bully seorang anak yang sex addict (kasus di Surabaya) beberapa waktu lalu. Padahal, tahukah kita betapa kompleksnya kasus sex addict yang menyangkut seorang anak?
Atau bahkan ketika kita yakin berita itu beneran, bukan hoax... sudah tepatkah perilaku kita, ketika kita tak bisa menahan diri untuk tidak nge-tweet ketika ada tagar-tagar terbaru yang menjadi trending topicsworldwide. Kicauan pengguna media sosial di Indonesia tergolong yang teraktif lho...
Begitu ada trending #awkarin aja, kita langsung ikut-ikutan nge-tweet, nga-share berita. Kira-kira, apa bukan perilaku kita yang semacam itu yang membuat kemunculan "awkarin-awkarin" baru mengingat remaja era sosial media yang sangat suka berada di tengah panggung dan menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau kemunculan karin itu, kita jugalah penyebabnya?
Ya. Pernahkan kita meluangkan waktu barang sejenak sebelum meng-klik tombol share? Meluangkan waktu sesaat untuk berpikir: apa manfaat perilaku kita itu?
Apa dampaknya? Atau hanya latah semata. Supaya kekinian dan eksis?
Can I Trust That?
Sejatinya yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih efektif, dan lebih efisien. Termasuk kaitannya dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan di tempat kerja, personal, atau di mana saja yakni sesuatu yang menjadi awal yang memungkinkan hubungan antarmanusia itu terjadi. Sesuatu itu tak lain adalah trust. Apakah hal itu bisa atau layak dipercaya kebenarannya? Bukan semata karena viral dan happening banget.