Yang kedua: Bullying merupakan kegiatan yang bertujuan, bukan kegiatan yang random atau spontanitas belaka. Siswa yang melakukan bullying sudah pasti tahu dia melakukan hal yang menyakiti / mempermalukan/ membuat tidak nyaman siswa lain. Maka, apabila sistem perploncoan dalam MOS tidak dilarang, maka kita (dan juga Negara) telah melegalisasi bullying. Bullying identik dengan kekerasan, dan kita tidak mau menjadi pihak yang mengamini kekerasan terjadi di institusi pendidikan seperti sekolah, bukan?
Yang ketiga: Bullying melibatkan tindakan yang tidak menyenangkan. Mulai dari bullying secara verbal (olok-olok, ejekan, bentakan), bullying secara fisik (mendorong, mencubit, memukul, menendang, menjegal), bullying secara psikis (mengintimidasi, meneror), bullying secara sosial (mengucilkan, mengasingkan), dan bullying jenis baru: bullying melalui media sosial. Semuanya sama, membuat korban mengerut takut, menangis, tidak nyaman, dan bisa juga mengalami trauma, fobia sekolah, dan memikirkan serta melakukan hal-hal yang lebih ekstrim (suicidal thought and efforts) yang untuk merehabilitasinya membutuhkan intervensi para professional (psikolog dan psikiater).
Say No To Bullying
Kita bukan hanya perlu Say No To Drugs, Say No To Pornografi, Tapi Juga Harus Say No To Bullying! Dan langkah Kemdikbud melarang MOS (yang identik dengan perploncoan dan bullying) adalah satu lompatan besar untuk mengikis habis bullyingdalam sistem pendidikan kita. Saya sangat mendukungnya.