Mata Air Yang Tidak Pernah Kering, Pak Tjip dan Bunda Rose Yang Saya Kenal -Oleh : Nur TerbitÂ
Kebiasaan yang buruk dan masih tetap dipertahankan oleh sebagian penulis termasuk wartawan, adalah baru memulai menulis disaat menjelang "deadline", atau batas terakhir pengiriman artikel maupun berita.
Dalam pertandingan sepakbola, menjelang "deadline" ini juga dikenal dengan istilah menit-menit terakhir atau masa "injury time". Yakni detik-detik menentukan dalam mencapai kemenangan, sebuah gol bisa menentukan kalah dan menangnya dalam pertandingan tersebut.Â
Begitulah yang saya pribadi alami, ketika menyanggupi ikut rombongan dari kumpulan penulis Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD) untuk menulis draft "60 Tahun Pernikahan Pak Tjipta" yang akan diterbitkan jadi buku kumpulan tulisan para penulis.
Sewaktu masih aktif di lapangan sebagai reporter surat kabar harian sore di Jakarta, kebiasaan buruk ini masih sering melekat pada diri saya dalam menjalani kehidupan di dunia media dan wartawan.Â
Tapi karena bekerja di media yang terbit dan beredar di sore hari, waktu yang singkat dalam mengumpulkan data, informasi dan keterangan hasil wawancara, mau tidak mau memacu dan memicu semangat kita untuk menulis dengan cepat dalam tempo sesingkat-singkatnya.Â
Istilah populer di dunia wartawan, menulis atau membuat berita yang "siap tayang". Artinya tidak perlu lagi diedit dan merepotkan hingga menambah beban editor (redaktur) di redaksi. Bahkan ketika peralatan jurnalistik dan teknologi masih "jadoel", berita dikirim wartawan lewat telepon umum coin atau kartu, harus dipastikan sudah siap tayang.
Untuk persiapan draft "60 Tahun Pernikahan Pak Tjipta" yang akan diterbitkan jadi buku kumpulan tulisan ini, penulis yang dipercaya sebagai editor naskah, adalah Mbak Muthiah Alhasany, penulis produktif yang terpesona akan keindahan "Turki" ini.
Melalui sarana komunikasi grup WhatsApp, Mbak Muthiah tidak henti-hentinya mengingatkan kepada lebih dari 60-an teman-teman penulis agar mematuhi "deadline" yang diberikan.
"Reminder: buat teman-teman yang belum menulis, waktu tersisa tinggal 10 hari. Per 1 Nopember saya tidak lagi menerima kiriman naskah. DEADLINE," tulisan Mbak Muthiah.
Demikian juga boss YPTD, Pak Thamrin Dahlan. "Ulang tahun ke 60 Pernikahan Pak Tjipta ini diharapkan jumlah Penulis 60 juga," kata pensiunan polisi ini, yang dia wakafkan sebagian rezekinya bersama keluarga besar mendirikan penerbitan buku YPTD.
Bahkan, cerita mepetnya deadline ini sekaligus mengingatkan kembali ketika saya juga ikut menulis di  buku kumpulan tulisan "70 Tahun Thamrin Dahlan". Di buku tersebut, cukup istimewa sebab kata pengantarnya ditulis oleh Dahlan Iskan, mantan wartawan Tempo, bos Jawa Pos, juga mantan menteri, yang kini mengelola "DisWay", sebuah media cetak plus online.
Tidak heran jika Mbak Muthiah Alhasany selalu mengingatkan akan batas akhir pengiriman naskah: "Masih ada lebih dari 10 orang yang belum nulis Pak," jawabnya kepada Pak Thamrin. "Jadi teman-teman yang belum menulis, agar segera ya sebelum deadline".Â
Nah di situlah baru terasa betapa semakin mendesak yang namanya "deadline". Meski sudah terbiasa menghadapi masa-masa genting seperti ini, terutama sewaktu masih jadi reporter surat kabar harian sore, tidak ayal membuat saya juga was-was. Apa bisa terkejar gak ya?
Tidak heran jika banyak juga yang merasa "kebakaran jenggot" meskipun tidak memiliki jenggot. Lah, dia perempuan, mana berjenggot? Antara lain Hidayah Qudus: "Hari ini batas akhir pengumpulan artikel ya, mbak?".
"Hari ini masih diterima sampai jam 23.59 kan, nggih bu Muthiah? tanya salah seorang penulis mulai ikut was-was.
"Aku malam ya pak Thamrin, nyusul," kata yang lain. "Saya juga menyusul nanti malam nggih Pak TD (sapaan akrab Pak Thamrin dari inisial namanya. Â "Saya juga belum nulis hehehe ..".
"Editing bersih sendiri dulu , biar nggak merepotkan editor buku" "Dibaca ya, koreksi dan edit yang benar kalau ada salah ejaan, kaburrr," ledek yang lain. Sutiono: "Lewat dari 60, akhirnya". Thamrin Dahlan: "Ya 68 penulis".Â
Awal Perkenalan Dengan Pak TjipÂ
Sejak saya bergabung dan mulai menulis di Kompasiana tahun 2008 dengan akun Nur Terbit  -- kemudian hilang dan tidak bisa login, lalu ganti dengan akun baru Wartawan Bangkotan hingga sekarang -- seingat saya baru dua kali sempat bertemu langsung dengan ayahanda Tjip (Tjiptadinata) dan Bunda Rose (Bundo Roselina). Istilah populer di dunia blogger kopdar alias kopi darat
Yang pertama ketika Kompasiana menggelar acara Kompasianival di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Saya duduk berderet dengan kursi Pak Tjip menghadap panggung, asyik menyimak testimoni Pak Ganjar Pranowo yang ketika itu masih Gubernur Jawa Tengah.Â
Pak Ganjar -- yang kemudian maju sebagai Capres 2024 berpasangan dengan Mahfud MD, memang selama ini dikenal rajin bermain sosial media juga. Tapi tidak banyak yang bisa terungkap dari profil Pak Tjip dengan pertemuan pertama kali ini, kecuali hanya saling menyapa dan "say helo".
Pertemuan kedua dengan Pak Tjip, adalah di gedung Perpustakaan Nasional Jakarta, ketika Pak Tjip dan Bunda Rose merayakan ulang tahun, sekaligus peluncuran buku "Thamrin Dahlan 70 Tahun". Hadir sejumlah penulis YPTD dan penulis Kompasiana (Kompasianer). Bahkan mantan admin Kompasiana Iskandar Zulkarnain (Isjet) juga hadir.
Di acara peluncuran buku "Thamrin Dahlan 70 Tahun" yang disertai "talk show" ini, saya diminta maju ke depan sebagai salah satu penulis untuk berbagi pengalaman menulis, baik sebagai penulis blog (blogger) maupun sebagai wartawan surat kabar.Â
"Kejadian tahun berapa ya pak, apa masih ada dokumentasi fotonya? Saya dulu ada menyimpan di hp lama yang sudah hilang," tanya saya kepada Pak Thamrin Dahlan sebagai tuan rumah acara ini. Tapi pertanyaan saya melalui WhatsApp, belum sempat dijawab Pak Thamrin hingga tulisan ini sudah tayang Kompasiana.
Itulah dua peristiwa pertemuan saya dengan pasangan suami-isteri, yang bersahaja dan memilih domisili di luar negeri ini. Tidak banyak penulis (Kompasianer) yang bergabung dan aktif menulis di Kompasiana dengan status pasangan suami-isteri. Salah satunya ya Pak Tjip dan Bunda Rose ini.
Dari tulisan-tulisan Pak Tjip dan Bunda Rose yang saya baca selama ini, selalu ada pesan bijak dan pelajaran hidup terselip dari setiap artikelnya. Tidak heran juga kemudian dari kumpulan tulisan tersebut, bisa dibukukan lengkap dengan ISBN.
Sekedar diketahui, ISBN adalah singkatan dari International Standard Book Number, yaitu kode pengidentifikasian buku yang unik. ISBN terdiri dari 13 digit angka yang berisi informasi tentang judul, penerbit, dan kelompok penerbit.Â
Â
ISBN memiliki beberapa fungsi, di antaranya: Memberikan identitas pada satu judul buku yang diterbitkan, Membantu memperlancar distribusi buku, Mencegah kekeliruan dalam pemesanan buku, menjadi media promosi.Â
Â
ISBN diberikan oleh Badan Internasional yang berkedudukan di London. Di Indonesia, ISBN diberikan oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI. ISBN sendiri tidak wajib untuk buku yang diterbitkan, namun buku yang memiliki ISBN akan lebih mudah dikenal dan diakui.Â
Â
Bagi saya, Pak Tjip dan Bunda Rose adalah ibarat "sumber mata air yang tidak pernah kering". Terus memberi kesegaran dalam setiap tulisannya. Bukan itu saja, kedua pasangan suami istri ini termasuk rajin "blog walking" atau jalan-jalan ke tulisan orang dan memberi komentar. Tentu komentar positif dan mengandung memicu semangat bagi penulisnya.
Saya sendiri mengaku kalah. Meskipun bukan hanya saya dan istri Bunda Sitti Rabiah menulis di Kompasiana, tapi juga saya "racuni" hobby menulis ini pada putri bungsu saya Fifi SHN. Tokh meski sudah turun "full team" (saya, istri dan anak) tetap tidak bisa mengejar bagaimana produktivitas Opa dan Oma kita ini dan berliterasi.
Siapa Sebenarnya Pak Tjip?
Dari sekian banyak tulisan Pak Tjip dan Ibu Rose, ternyata tidak semua mengungkap dengan terang benderang bagaimana kehidupan pribadi keduanya, terutama diri Pak Tjip sendiri. Justeru saya menemukan disaat jelang "deadline" di grup WhatsApp. Yang "membongkar" adalah teman penulis sendiri.
"Aduh.... biodata Opa dan Oma bocor ya anandaku? Hahaha...Ya nggak apa-apa. Nggak ada rahasia negara hahaha..," jawab Opa, sapaan hormat untuk Pak Tjip.
"Hehe Opa Saya sekarang baru tahu kenapa Opa hebat bisa kuat membuat 7 ribu lebih artikel, ternyata pernah jadi Pemred Gema Don Bosco. Don Bosco, dengar namanya aja yang terbayang adalah anak-anak dari sekolah pintar," kata penulis tersebut berterus terang.
"Aduh.. kisah hidup Opa tahun 1960 juga dapat ya anandaku? Â Wuih....gawat nih hahahaha..," balas Opa Tjip.
"Ada satu kesamaan Nyai Muthiah (editor buku ini) dan Opa Tjiptadinata, sama-sama jago bela diri. Opa Tjipta bisa membelah empat papan tebal - memecah kelapa berbatok dgn tangan kosong. Sedang Nyai Muthi bisa cek Khodam, ehh, membanting orang dengan teknik Wing Chu...ciatt,".
Dari grup WhatsApp juga saya mendapat informasi lain tentang Pak Tjip. Anggota keluarga dekat Opa Tjipta ternyata salah satu tokoh militer AL yang disegani. Seleb marinir Kolonel Edy Effendi dan putrinya Nitasa.Â
Mereka sering diliput media massa nasional karena penembak jitu berprestasi Dapat info juga dari kawan saya yg di korps Marinir, Kolonel Edy calon kuat petinggi AL beberapa tahun mendatang. Semoga pecah bintang.
Sudah jago menembak sejak kecil (SD), sering diliput media , makanya jadi tentara. Bahkan info tersebut membocorkan kalau Opa Tjipta pernah cemburu ketika Oma Lina (Rose) dipeluk bule ganteng
"Aduh...itu 60 tahun yang lalu anandakuÂ
Kalau sekarang yang patah tangan Opa hahaha...," kata Pak Tjip berterus teranga.
Sebagai tambahan informasi, Pak Tjiptadinata Efendi dan Ibu Roselina.
Ayah Tjiptadinata Efendi lahir di Padang, Sumatera Barat 21 Mei 1943 dan Bunda Roselina Efendi lahir 18 Juli 1943 di Solok, Sumatera Barat. Artinya usia keduanya sudah mencapai 81 tahun.Â
Jarang orang yang hidup dengan umur panjang dan dalam kondisi sehat, di sela-sela keduanya menulis secara produktif. Pak Tjip sudah menulis lebih dari 7.300-an sejak bergabung pada tahun 2012. Demikian juga tulisan karya Bunda Roselina sebanyak 1.600-an.
Jadi semangat menulis dan produktifitas di dunia literasi kedua pasangan suami-isteri ini, memang luar biasa. Maka sekali lagi, saya harus ulangi katakan bahwa Pak Tjip dan Bunda Rose, ibarat "sumber mata air yang tidak pernah kering".
Demikianlah, kisah tentang Pak Tjip dan Bunda Rose yang saya kenal. Selamat ulang tahun pernikahan ke-60 untuk keduanya. Sehat selalu. Salam.
Nur Terbit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H