Berbicara menegenai Zakat dan Ekonomi tentu akan sangat erat diantara keduanya, terlebih ada tiga dimensi dalam zakat yakni Moral, soaial dan Ekonomi. Alasan dari tiga dimensi ini maka Zakat bisa dijadikan salah satu Instrumen keuangan Sistem Eonomi Islam. Zakat juga merupakan ranah publik yang ada dalam Ekonomi Islam, dengan kata lain zakat yang sifatnya wajib merupakan dana umat yang harus dipertanggungjawabkan secara sosial dan pertanggungjawaban kepada Allah SWT.Â
Sebagai pranata sosial-ekonomi yang lahir pada abad ke-7 M Zakah adalah sistem fiskal pertama di Dunia yang memiliki kelengkapan aturan yang luar biasa, mulai dari subjek pembayaran zakat, objek harta zakat beserta tarifnya masing-masing, batas kepemilikan harta minimal tidak terkena zakat (Nisab), masa kepemilikan harta (haul), hingga alokasi distribusi penerima zakat (mustahik). Jika diterapkan secara sistematik dalam perekonomian, khususnya perekonomian berbasis aturan dan semangat Islam yang kompherensif, zakat juga akan memiliki berbagai karakteristik dan implikasi ekonomi yang penting dan signifikan, yang membuatnya dinginkan secara sosial.
Secara garis besar dalam ruang lingkup ekonimi zakat memiliki ranah yang luas baik itu ranah Makro Ekonomi  maupun Mikro Ekonomi, mengingat zakat dalam ranah Makro Ekonomi dapat sebagai Instrumen kebijakan fiskal disuatu negara atau masuk kedalam ranah publik Islam, kemudian dalam ranah mikro zakat juga dapat berperan penting karna dalam alokasi dana zakat nash Al-Qur'an  Surat at-Taubah ayat 60 sudah menentukan golongan yang berhak menerima dana zakat, tentu hal ini ranah mikro ekonomi untuk memberikan gambaran masyarakat garis miskin akan tersentuh atas apa yang menjadi proses distribusi yang merata.
Di Indonesia yang mayoritas masyarakat Muslim tentu apabila pengelolaan zakat dapat dimaksimalkan maka bukan tidak mungkin garis kemiskinan dapat berkurang, selain itu zakat juga memiliki konsep distribusi yang sistematis untuk itu hal yang berkaitan denga kesenjangan si kaya dan si miskin di Indonesia akan dapat dikurangi mengingat konsep tersebut memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat miskin terlihat dalam kewajiban membayar zakat adalah bagi masyarakat Muslim yang memiliki harta dan sudah mencapai Nisab, Â adapun kewajiban zakat dibayar sebanyak 2.5 % dari akumulasi pendapatan. Dari konsep tersebut maka terlihat pemertaan melaluli zakat.
Zakat Sebagai Aspek Mikro Ekonomi
Dari aspek Mikro Ekonomi, zakat memiliki berbagai implikasi ekonomi yang penting antara lain terhadap konsumsi agregat, tabungan Nasional, investasi dan produksi agregat. Dalam Perekonomian Islam dimana zakat diterapkan, maka masyarakat akan terbagi dalam dua kelompok pendapatan yaitu pembayar zakat dan penerima zakat. Kelompok masyarakat wajib zakat (Muzakki) akan mentransfer sejumlah proporsi pendapatn mereka kekelompok masyarakat penerima zakat (mustahik) di Indonesia sendiri idealnya zakat seharusnya dapat ditunaikan melalui Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) baik itu Badan Amil Zakat (BAZ) ataupun Lembaga Amil Zakat (LAZ), supaya dapat dikelola dan dapat di distribusikan secara baik dan tepat sasaran, dalam mengalokasikan perlu manajemen yang baik sehingga secara terus menerus OPZ dan masyarakat dapat berkesinambungan dan bersinergi dalam mengenbangkan OPZ Â dan semakin memberikan sumbangsih yang nyata dalam rangka mengentaskan kemiskinan yang sampai sekarang menjadi masalah utama bagi Indonesia.
Hal diatas secara jelas akan membuat pendapatan siap dibelanjakan dari mustahik akan meningat. Peningkatan pendapatn akan meningkatkan konsumsi dan sekaligus mengizinkan mustahik untuk mulai membentuk tabungan dalam jangka panjang, transfer zakat akan membuat ekspektasi pendapatan dan tingkat kekayaan mustahik meningkat yang pada gilirannya membuat konsumsi mereka menjadi lebih tinggi lagi.
Berbagai studi sampai pada kesimpulan bahwa tingkat konsumsi agregat dalam perekonomian Islam akan lebih tinggi, Margianl Propensity to Consume/ MPC dan kecendrungan rata-rata untuk berkonsumsi Average Propensity to Consume/ APC perekonomian Islam lebih tinggi dibandingkan perekonomian Konvensioanal.Â
Argumennya sangat sederhana yaitu dengan mengasumsikan bahwa  MPC mustahik adalah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MPC  muzakki. Jika kita mentransfer proporsi pendapatan dari kelompok dengan MPC rendah ke kelompok dengan MPC tinggi maka secara alamiah dampak bersinya adalah positif yaitu MPC akan lebih tinggi.
Lebih jauh lagi, konsumsi kelompok kaya sering kali adalah konsumsi barang dan jasa yang relatif tidak penting. Yaitu konsumsi yang boros tabdzir dan berlebih-lebihan israf. Seiring dengan kenaikan pendapatan, maka pola konsumsi akan bergeser dari barang dan jasa kebutuhan primer yang umumnya masih selaras dengan mashlahah kebarang dan jasa non-primer yang sepenuhnya berbasis utility yang subjektif yang umumnya mengarah kepada hidup yang bermewah-mewahan.
Zakat juga memiliki Implikasi penting terhadap tabungan, teori ekonomi mempostulatkan bahwa tabungan adalah residu dari pendapatn setelah konsumsi, dalam menentukan pendapatan yang dialokasikan untuk konsumsi saat ini dan berapa yang ditabung untuk konsumsi masa depan, Â teori konvensial menjelaskan dalam perspektif positive time prefernce theory.Â
Tingkat konsumsi saat ini dan tingkat tabungan akan ditentukan dengan menyamakan antara rate of time prefernce dan rate of Interest. Dengan kata lain, tingkat suku bunga akan mempengaruhi tingkat konsumsi saat ini melalui hubungannya dengan tabungan.
Dalam perspektif Islam , tabungan bukanlah aktivitas residul, melainkan sebuah tidakan rasional yang memiliki tujuan tertentu yang positif, bukan utuk ditimbun atau digunakan untuk berspekulasi. Tabungan untuk persiapan masa depan adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan. Disaat yang sama Islam melarang yang berlebih-lebihan.
Secara makro, penerapan zakat akan berdampak positif terhadap tingkat tabungan nasional. Karena zakat juga dikenakan terhadap kekayaan yang terakumulasi, tidak hanya pada pendapatan saja, maka pembayaran zakat akan mendorong muzakki untuk meningkatkan rasio tabungan untuk mencegah tingkat kekayaannya menurun. Sementara itu, sebagai sistem perpajakan zakat merupakan sistem perpajakan yang ramah terhada dunia usaha sehingga diyakini akan berdampak positif pada produksi agregat. Zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam Syari'ah.
Zakat Sebagai Aspek Makro Ekonomi
Dari aspek makrp ekonomi, zakat memiliki beberapa implikasi ekonomi yang penting antara lain terhadap efisiensi alokatif stabilisasi makro ekonomi, jaminan sosial, distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi, zakat mentransfer sebagian pendapatan kelompok kaya yang umumnya bagian kecil dalam masyarakat kemudian kelompok miskin yang umumnya merupakan bagian terbesar dalam masyarakat. Hal ini secara langsung akan meningkatkan permintaan barang dan jasa dari kelompok miskin, yang umumnya adalah kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Permintaan yang lebih tinggi untuk kebutuhan dasar masyarakat terkait zakat ini, akan mempengaruhi komposisi produksi barang yang akan diproduksi dalam perekonomian, sehingga akan membawa kepada alokasi sumber daya menuju ke sektor-sektor yang diinginkan secara sosial. Hal ini akan meningkatkan efisiensi alokatif dala perekonomian.
Zakat akan berkembang dan mengangkat perekonomian masyarakat dari mulai kelas bawah, menegah dan atas sebagai muzaki apabila dalam sistem dan pengelolaan zakat bisa secara maksimal dan sistematis. Sektor mikro dan makro ekonomi tentu akan tertutupi oleh sistem zaat yang dijalankan, tetapi sebelum kita berekpektasi maka perlu kita catat permasalahan yang ada dalam dunia zakat di Indonesia yakni terdapat beberapa problematoika dalam pnegelolaan zakat yakni masalah regulasi, organisasi pengeolala  zakat (OPZ), dan masyarakat sebagai Muzakki ataupun Mustahik.
Nur Sya'adi
Mahasiswa FIAI Universitas Islam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H