Mohon tunggu...
Zumaroh Nur Soleha
Zumaroh Nur Soleha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Memiliki hobi MEMBACA.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Komitemen dan Realita Jokowi terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

28 Oktober 2024   23:22 Diperbarui: 28 Oktober 2024   23:22 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan isu yang kerap di hadapi Negara kita tercinta Indonesia, termasuk pada era pemerintahan bapak presiden Joko Widodo. Sejak awal pemerintahan beliau, bapak presiden Joko Widodo memiliki komitmen untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN) demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transaparan. Namun, berbagai tantangan harus terus di hadapi, dan isu -- isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tetap menjadi sorotan publik. Bahkan ada yang mengutarakan bahwa kejahatan di era pemerintahan bapak presiden Joko Widodo di anggap jauh lebih buruk di bandingkan era Orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal tersebut di katakan oleh mantan Mentri Koordinator Bidang  Kemaritiman Rizal Ramli, beliau berkata Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dia dan keluarganya. Ini Jokowi lebih ganas KKN -- Nya, lebih brutal di bandingkan Soeharto. Padahal sejak periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menujukkan komitmen dalam memberantas korupsi. Beliau mendukung penguatan Lembaga anti korupsi, khususnya komisi pemberantasan korupsi ( KPK ). 

Beliau memiliki Langkah yang strategis unutk memberantas korupsi di Indonesia dengan cara memberi ancaman dan beberapa kali menyatakan dukungannya terhadap penindakan tegas terhadap pelaku korupsi di intansi pemerintahan, beliau sering menegaskan bahkan tidak akan memberi ampun bagi pejabat yang melakukan tindak korupsi. Presiden Joko Widodo juga meperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai reformasi birokrasi untuk mengurangi peluang terjadinya korupsi, termasuk penerapan e-government unutk transparansi administrasi dan pengawasan yang lebih mudah. Selain itu upaya Presiden Joko Widodo untuk memberantas korupsi adalah dengan melakukan percepatan pelayanan publik dan pemangkasan prosedur  beliau mendorong penyederhanaan proses birokrasi dan perizinan untuk menutup celah yang bisa di gunakan untuk melakukan tindak korupsi. 

Namun, di samping itu semua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) harus menghadapi sejumlah tantangan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu dengan di adakannya revisi undang -- undang KPK pada tahun 2019 yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019, mengubah status kepemimpinan KPK, mengubah posisi kewenangan Dewan Penguasa KPK, serta mengatur batas usia minimum pencalonan pimpinan KPK. Revisi ini juga mengatur tentang penyadapan dan penggeledahan yang di lakukan oleh KPK. Hal ini menimbulkan kotroversi dan di khawatirkan memperlemah Lembaga  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa perubahan yang signifikan termasuk adanya Dewan Pengawas Wewenang KPK dalam melakukan penyadapan. Beberapa pihak menilai bahwa revisi ini dapat melemahkan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Selain itu ada juga kasus internal yang terjadi di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi seperti dugaan kasus -- kasus tertentu yang melibatkan penyidik KPK itu sendiri, yang di anggap mencederai citra Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi.

 Selain kasus korupsi di era Bapak Preseiden Joko Widodo juga di hadapkan oleh kasus Nepotisme juga menjadi isu sensitif dalam pemerintahan, Kasus Nepotisme yang menjadi sorotan publik yaitu posisi keluarga di pemerintahan dan BUMN putra Bapak Presiden Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka yang terpilih menjadi wali kota solo, sementara menantu beliau Bobby Nasution, menjabat sebagai Wali Kota Medan, meskipun keduanya mengikuti prosedur pemilihan yang sah, namun tetap saja ada sorotan publik apakah itu terjadi karena Nepotisme atau murni dari hasil kompetisi demokratis. Lalu ada juga kasus  tentang pengisian posisi di BUMN, beberapa pengangkatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sempat menuai kritik karena di anggap ada unsur kolusi. Pengisian posisi -- posisi strategis sering di kaitkan dengan hubungan kedekatan politik atau personal. 

Di era Bapak Presiden Joko Widodo, proyek -- proyek besar seperti Pembangunan infrastruktur kerap di kaitkan dengan potensi korupsi, meskipun juga mendapat pengawasan ketat. Seperti kasus menonjol yaitu kasus korupsi infrastruktur, Pembangunan infrastruktur skala besar, seperti jalan tol, Pelabuhan, dan bandara, mendapat sorotan terkait potensi terjadinya korupsi, baik dalam hal pengadaan barang dan jasa maupun pemberian izin. Kasus korupsi juga terjadi di kementrian dan Lembaga di era Bapak Presiden Joko Widodo, beberapa pejabat kementrian terjerat kasus korupsi. Seperti,

Edward Omar Sharif Hiariej sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi. Presiden Joko Widodo melantik Eddy menjadi wakil mentri hukum dan hak asasi manusia (wamenkumham) pada 23 Desember 2020. Perkara dugaan korupsi yang menjerat Eddy ini berawal dari laporan ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso terkait dugaan penerimaan gratifikasi Rp. 7 miliar pada 14 Maret 2023. Eddy di duga menerima gratifikasi sebesar Rp. 7 miliar  dari pengusaha Bernama Helmut Hermawan yang meminta konsultasi hukum. Selain Eddy, ada 3 tersangka lain yang di tetapkan tersangka oleh KPK. Direktur penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, tim penyidik akan menerapkan pasal 12B Undang -- undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) KUHP terkait gratifikasi. KPK juga menerapkan pasal suap untuk mengusut perkara tersebut.

KPK juga mnetapkan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka dugaan pemerasan dan gratifikasi. Kader partai Nasdem itu di duga memeras dan menerima gratifikasi dari sekertaris jendral kementrian pertanian (sekjen kementan) Kasdi Subagyono dan direktur alat dan mesin pertanianm, kementan Muhammad Hatta. KPK menjerat Syahrul, Hatta, dan Kasdi dengan tiga pasal yakni pasal 12 huruf E dan pasal 12 B undang -- undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah di ubah dengan undang -- undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang -- undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan kmorupsi.

Mantan mentri komunikasi dan informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate divonis 15 tahun penjara dan denda sebesar 1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh majlis hakim pengadilan tindak pidana korupsi. Dia terbukti menerima belasan miliar dari proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung tahap 1 sempai 5. Plate juga di bebani pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 15,5 miliar subsider dua tahun kurungan. Perbuatan Johnny Gerard Plate itu terbukti korupsi seperti dalam rumusan dakwaan pasal 2 ayat 1 jo pasal UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke -- 1 KUHP.

Politikus partai Golongan Karya (Golkar) Idrus Mahram yang pernah menjabat sebagai Mentri sosial di Kabinet Presiden Joko Widodo  juga terjerat kasus suap proyek PLTU Riau. Dia kemudian divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150.000.000 subsider 2 bulan kurungan.

Mantan Mentri pemuda dan olahraga (Menpora) Imam Nahrawi juga terjerat korupsi suap hibah dana KONI. Politikus partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu kemudian divonis 7 tahun penjara serta denda Rp 400 Juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Imam juga mengganti kerugian Negara sebesar RP 18,15 miliar, dan pencabutan hak pilih hingga 4 tahun.

Mantan Mentri kelautan dan perikanan Edhy Prabowo juga terbukti menerima suap penerbitan izin budi daya dan ekspor benih lobster. Edhy yang saat itu menjadi politikus pertain Gerindra divonis 5 tahun penjara, denda Rp 400 juta subsider 6 bulan penjara, dan pencabutan hak pilih hingga 2 tahun.

Kasus Korupsi yang juga menarik perhatian publik adalah perkara suap bantuan sosial (Bansos) Covid- 19 di Jabodetabek, yang dilakukan Juliari Batubara. Politikus PDI perjuangan yang sempat menjabat sebagai mentri sosial  itu kemudian divonis 12 tahun penjara serta denda Rp 500 juta dan subsider 2 bulan penjara. Hakim juga memerintahkan hak pilih dan di pilih dalam jabatan publik hingga 4 tahun.

Hal ini yang menunjukkan bahwa praktik korupsi masih ada di lingkungan pemerintahan di era Presiden Joko Widodo.

Meski banyak upaya yang sudah di lakukan kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di era pemerintahan Presiden Joko Widodo masih mejadi perdebatan. Beberapa pihak mengapresiasi Langkah -- Langkah pemerintah dalam memberantas korupsi dan memperbaiki birokrasi. Namun, masih ada pihak lain yang menyoroti bahwa upaya ini belum cukup memperbaiki birokrasi dan meminta pemerintah unutk lebih tagas, khususnya dalam menangani kasus -- kasus korupsi yang melibatkan elite politik dan pejabat tinggi.

Sebenarnya di Era pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan upaya yang signifikan dalam memberantas kasus Kolusi, Korupsi dan Nepotisme melalui berbagai reformasi, kebijakan, dan pemberdayaan Lembaga hukum. Namun, tantangan besar masih di hadapi, baik dari regulasi, birokrasi, maupun tekanan politik. Peran Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan dukungan Masyarakat Indonesia juga sangat penting untuk memastikan bahwa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dapat di berantas lebih dari efektif dan berkelanjutan di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun