Mohon tunggu...
Nur Sodikin
Nur Sodikin Mohon Tunggu... Freelancer - penulis. Facebook,nur soedikin ig,nur_soedikin Watpadd:nursodikin

Daerah asal, blora jawatengah

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Rahwana Shinta

16 November 2024   02:38 Diperbarui: 16 November 2024   02:39 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Cerita bersambung.

Baca cerita lengkapnya di

Watpadd: nursodikin

https://www.wattpad.com/story/378546686?utm_source=android&utm_medium=link&utm_content=story_info&wp_page=story_details_button&wp_uname=NurSodikin

GWP GRAMEDIA: @Nursoedikin

https://gwp.id/story/141098/rahwana-shinta

Gerimis, gerimis, gerimis pagi itu.

Garuda sempati mondar mandir di antara gunung, menuruni lembah, sungai, lalu kembali naik ke angkasa. Sepertinya ia hendak mencari tempat yang rindang untuk berteduh. 

Meneduhkan segala aduh, memulangkan segala riuh.

Mengasingkan diri dari suara di lereng gunung yang kian gaduh.

Hingga kemudian ia duduk di atas ranting pohon cemara. Dibawahnya, seorang anak yang berumur sekitar sepuluh tahun sedang meniup seruling dan duduk di pendopo seorang wanita cantik sedang khusyuk menenun selendang berwarna hijau ungu.

Dewi sukesi menyadari juga kehadiran garuda sempati, kedatangan burung itu membuatnya terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Akan tetapi apa yang akan datang sebenarnya jauh lebih mengejutkan lagi.

Dewi sukesi masih tak bergeming menyaksikan burung Garuda sempati yang duduk di atas ranting, serasa menikmati alunan seruling yang ditiup rahwana.

Hingga kedatangan prajurit pengawal kerajaan yang datang tergopoh-gopoh membuyarkan lamunannya.

Prajurit itu memberitahukan bahwa prabu danaraja beserta pasukan Lokapala sudah berada di perbatasan dan hendak menyerang istana Alengka. 

Sekarang prabu Wisrawa dengan beberapa regu pasukan sedang menuju perbatasan untuk menghadang mereka.

Dewi sukesi beserta abdi kerajaan diminta untuk menuju tempat aman yang sudah disiapkan.

Mendengar berita dari prajurit pengawal kerajaan, tubuh dewi sukesi mendadak lemas tak berdaya, ia kesulitan bernafas, tatap matanya kosong dan berkaca-kaca. Segera berlari terhuyung-huyung menuju istana.

Rahwana melihat ibundanya, menyadari telah terjadi sesuatu dan segera mengejar ibundanya.

Gonjang-ganjing di istana Alengka. Sedang sumali sendiri justru tidak ada di istana dan tidak ada yang tau keberadaannya.

Para punggawa dan perbesar kerajaan sedang mengadakan rapat darurat. Menyiapkan pasukan dan menyusun strategi untuk segala kemungkinan yang akan terjadi apabila pasukan lokapala sampai hingga di benteng istana.

Namun anehnya, prabu Wisrawa justru sudah memberi perintah bahwa ia sendiri yang akan menghadang prabu danaraja dan pasukan Lokapala. Wisrawa hanya meminta beberapa regu pasukan dan ditemani patih prahasta berangkat menuju palagan yuda.

Sedangkan sebagian besar pasukan alengka diperintahkan untuk fokus menjaga benteng pertahanan istana.

Seluruh istana berada dalam kegelisahan, terutama dewi sukesi yang sejak tadi mondar mandir di luar ruangan rapat. Lalu ia duduk menatap dinding di depannya, tatapannya kosong tapi jari kedua tangannya tidak mau diam seperti menghitung angka angka yang rumit. Darah, sukesi tak sanggup membayangkan bagaimana jika suaminya prabu Wisrawa dan prabu danaraja saling menghunus pedang.

Ia merasa bersalah dan merasa tak berdaya untuk menghentikan semua ini. Sukesi hanya bisa menangis, sorot matanya menerjang segala sudut istana, ia mencoba menemukan ayahanda nya sumali.

Hilang, sumali benar-benar menghilang. 'Ayah! Suaranya tersedak sedak, sedang anak-anaknya Rahwana, Kumbakarna, sarpakenaka dan wibisana sudah berkumpul di sekelilingnya mencoba menenangkan hati ibundanya tercinta.

Di perbatasan. Mayat, ada mayat dimana-mana.

Di jalanan, selokan, di bawah pohon, berserakan.

Pos jaga yang telah terbakar. 

Segerombol burung gagak sudah mengintai di atas pohon, menanti apakah mereka sudah benar-benar mati.

Sedang di sisi lain suara gemelinting senjata yang saling beradu, suara teriakan prajurit memecah keheningan belantara hutan. Burung, tupai, rusa, penghuni rimba segera berlari menjauh.

Pasukan prabu wisrawa kalah jumlah, korban berjatuhan. Patih prahasta masih berjuang berusaha menahan amukan prajurit lokapala. Prahasta sebenarnya tidak menyangka bahwa ini akan menjadi pertempuran yang tidak seimbang, ia mengira bahwa maksud prabu Wisrawa hanya membawa beberapa regu pasukan adalah untuk mencari jalan damai.

Namun yang terjadi adalah tidak ada lagi negosiasi meski yang datang adalah prabu Wisrawa sendiri.

Amarah pasukan Lokapala tak terbendung, pertempuran tak terhindarkan.

Di tengah-tengah pasukan terlihat wisnungkara patih lokapala sedang bertempur bersama pasukannya. Mengetahui itu patih prahasta segera menerjang prajurit yang ada di depannya. Prahasta tidak bisa dihalangi, prajurit lokapala bukanlah tandingannya.

Adu senjata, adu kekuatan, adu kepiawaian dalam bertarung antara wisnungkara dengan patih prahasta. Keduanya bertarung hebat namun wisnungkara sepertinya tidak sanggup menandingi kehebatan prahasta sehingga dari belakang prabu danaraja memberi isyarat kepada wisnungkara untuk mundur. Prahasta kemudian dihadapi sendiri oleh prabu danaraja. 

Pertarungan keduanya berlangsung sengit dan menghanyutkan. Hingga akhirnya prahasta berhasil dijatuhkan oleh danaraja namun tepat sebelum pedang danaraja menghujam jantung prahasta, sebilah pedang menangkisnya.

Kali ini untuk menyelamatkan patih alengka, prabu Wisrawa harus melawan anaknya sendiri. Meskipun danaraja terkejut dengan orang yang kini sedang bertarung dengannya namun pertarungan tetap berlanjut. 

Perang tanding yang tak enak untuk disaksikan bahkan oleh prajurit lokapala sendiri. Mereka terdiam menyaksikan dua raja Lokapala yang sedang beradu pedang.

Namun tiba-tiba saja, pedang danaraja menembus ulu hati wisrawa. Seketika tangan danaraja segera melepaskan pedangnya diikuti tubuh wirsrawa yang kemudian terhuyung ambruk.

Semuanya tertegun, termasuk patih prahasta yang kemudian segera melarikan diri memacu kudanya.

Hendak melaporkan apa yang telah terjadi di medan yuda.

Tangan prabu danaraja masih gemetar, ia tak percaya dan memandangi tangannya yang masih gemetar. Tangan inilah yang tadi memegang pedang itu, pedang yang kini menancap di dada ayahandanya.

Lalu wisrawa yang sedang sekarat tiba-tiba seperti ingin mengatakan sesuatu, bibirnya terbata-bata. Mengetahui itu danaraja segera tersungkur mendekatkan wajahnya.

Ada pesan terakhir Wisrawa yang hanya danaraja yang tahu. Sebelum akhirnya Wisrawa meregang nyawa.

Di istana Alengkadiraja, suasana kacau. Semua yang ada di istana merasa terguncang jiwanya. Setelah mendengar kabar dari patih prahasta. 

Semua orang sibuk, ada yang sedang buru-buru memakai seragam perang, para punggawa yang sedang mempelajari peta pertahanan alengka. Lalu prajurit-prajurit yang sedang diberi arahan. Semuanya tampak gugup, tidak ada waktu untuk membicarakan nasib rajanya yang baru saja dibunuh anaknya sendiri. Semua orang tertunduk dan sama sekali tak tertarik untuk membicarakan sesuatu kecuali berbagi arahan dan tugas. 

Patih prahasta sendiri sedang terlihat gugup, menelusuri istana untuk mencari dewi sukesi.

Namun di sudut manapun ia tak menemukan dewi sukesi. Prahasta juga sempat menanyakan kepada anak-anak dewi sukesi namun ternyata mereka juga sedang mencari keberadaan ibundanya.

Di tempat lain seorang wanita sedang melesat dengan kudanya. Mungkin itulah kuda tercepat saat ini.

Semak belukar, lubang jalanan, diterjangnya tanpa ragu-ragu. Agaknya kuda itu mengerti aduhan yang sedang dialami wanita yang sedang menaikinya, yang sedari istana air matanya masih tidak mau berhenti mengalir.

Mungkin ia bermaksud mengejar waktu yang telah berlalu, dan mendahuluinya.

Di dalam perkemahan, prabu danaraja masih berdiam di samping jasad ayahnya. Ia masih tak percaya orang yang selama ini dirindukan ibu dan dirinya, harus bertemu seperti ini. Lebih tepatnya, mungkin seharusnya tidak bertemu. Danaraja masih tertegun di samping jasad ayahnya, tangannya memegang erat tangan ayahnya.

Sedang diluar terdengar suara seorang wanita menjerit-jerit. 'dimana suamiku. Terdengar berulang kali ia meneriakan kata-kata itu  kepada prajurit yang menghadangnya.

Keluarlah prabu danaraja dari dalam kemah, 'biarkan dia masuk. Sembari menganggukan kepalanya, memberi isyarat kepada dewi sukesi untuk mengikutinya. Lalu danaraja mempersilahkan dewi sukesi untuk masuk di dalam kemah tempat jasad Wisrawa berada.

Danaraja meninggalkan mereka berdua dan menghampiri prajurit yang berjaga lalu kemudian pergi ke hutan.

Sunyi. Begitulah kini suasananya setelah suara gemelinting pedang, teriakan prajurit, jerit kesakitan. Kini hutan terasa lebih sunyi, burung serta hewan-hewan yang lain memilih bungkam. 

Lalu diatas bukit terlihat burung Garuda sempati sedang memperhatikannya. Menyadari itu, danaraja mencoba untuk menghampiri burung yang banyak mengandung mitos itu, sebelum ternyata burung itu telah pergi menghilang.

Dari atas bukit ia mencoba mengamati kiri kanan untuk mencari keberadaan burung itu hingga ia mendengar gemericik air dibawah bukit.

Sungai, ia menuruni bukit dan mendekatkan dirinya ke pinggir sungai lalu mencuci wajahnya.

Diatas ranting pohon jati telah duduk burung Garuda sempati kembali memperhatikan danaraja. Sorot matanya tajam, dan danaraja menyadari itu tapi ia tetap tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin disampaikan burung itu. Kemudian burung itu terbang pelan ke udara, danaraja menyadari bahwa burung itu terbang ke arah Alengka.

Waktu hampir senja, danaraja telah kembali dan menuju kemah namun setelah membuka pintu kemah ia benar benar terkejut. Kakinya kembali melangkah mundur hingga dia tersungkur jatuh kebelakang.

Melihat itu prajurit penjaga segera menolongnya untuk kembali berdiri. 'ada apa tuan? Haa' apa yang terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi? Mata prajurit itu masih melotot menerjang ke dalam kemah.

Dewi sukesi telah bersimpuh di dada Wisrawa, tangannya masih memegang pisau yang menancap di perutnya. Tangannya berlumuran darah.

Berita segera disampaikan ke Alengka melalui utusan prabu danaraja. Jasad Wisrawa dan dewi sukesi juga dikirim ke Alengka. Beserta kesepakatan yang harus disetujui Alengka untuk penghentian perang.

Bahwa alengka harus bersedia menjadi negara yang berada dibawah panji pemerintahan lokapala, meski Alengka tetap memiliki pemerintahannya sendiri.

Patih prahasta diangkat menjadi pemimpin pemerintahan di alengka untuk sementara hingga Rahwana cukup usia dan kemampuan untuk menjadi raja Alengkadiraja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun