Saat durian berbuah, kami berebutan dengan musuh. Mulai monyet, tupai, sampai ke manusia. Intinya, buat kami buah durian hanya full aroma nol rupiah, alias belum menambah nilai ekonomi keluarga. Si kakek ganteng (suamiku) ke kebun cuman dua kali seminggu. Berangkat dari rumah pukul tujuh tiga puluh, sampai di sana jam setengah sembilan.
Di sisi lain, buah durian matang berjatuhan dari pohonnya tidak terjadwal. Kadang siang, kadang-kadang malam hari. Pagi sebelum jam enam, oknum warga setempat sudah memungut duluan. Begitu juga pada siang hari. Palingan kami kebagian jika ada yang rontok ketika suamiku ada di sana.
Ya, sudah. Mau bagaimana lagi. Buah durian adalah hal yang fenomenal. Sudah menjadi tradisi di daerah kami. Pohonnya punya pribadi, buahnya milik bersama. Lain cerita jika selama durian berbuah empunya menunggu, (tinggal, nginap) di lokasi.
Saat ini musim durian Kerinci sedang memuncak, dan dalam waktu dekat bersiap-siap akan berakhir. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H