Pernahkah anda kesal karena merasa dicurangi oleh oknum Kasir rumah makan.  Pengalaman ini  kami alami saat traveling ke luar daerah akhir November 2023  lalu. Sang oknum mengenakan tarif  semena- mena kepada kami. Dua kali lipat dari harga biasanya.
Padahal warung nasinya  pakai merek ampera.  Sebutkan saja  Ampera  X.  Lokasinya  di pinggir  jalan raya antar provinsi.  Tetapi  masuk gang kira-kira 30 meter, di pemukiman penduduk pedesaan. Intinya, X  itu warung nasi tradisional,  bukan restoran mewah.
Tamu dari luar daerah
Mungkin oknum kasir tersebut  berpikir bahwa kami bukan pelanggan mereka, berkunjung hanya satu kali, dan tak mungkin akan singgah lagi.
Sebelum melakukan pembayaran  kasirnya bertanya, "Berapa orang  Bu, makannya?  Sambalnya berapa potong?"
 "Makan 3 kopi hitam dua," sambar seorang pelayannya,  terus pergi.
"Dua  ratus  empat puluh  ribu."  lanjut  sang kasir.
Subhanallah, mulut saya terkunci, tak bisa bicara apa-apa. Â Otak kecil saya bereaksi, dirimu sedang di*e*as, nenek lansia. Â Bukan soal pelit medit. Alhamdulillah, kami bawa duit yang cukup. Â Tapi, saat itu saya merasa didiskriminasi.
Satu level beda harga
Tiga hari sebelumnya kami makan di  wilayah yang sama,  cuman  Rp 98 ribu. Warungnya sama-sama level Ampera, menunya sama-sama gulai kepala ikan laut, sama-sama  2 potong. Satu ukuran sedang untuk sopir,  lainnya yang  jumbo buat saya dan suami (sepotong berdua). Di  Ampera X malah satu gulai ikan bagian tengah ukuran standar,  satu  bagian kepala size doble .
Lain lagi di Rumah Makan Lamun Ombak  Kota Padang. Sajiannya bervariasi, ada rendang daging sapi, ayam bumbu, ikan bakar, plus sayuran. Dilengkapi teh es dan jus jeruk panas masing-masing satu gelas, + 3 potong  kue  cuci mulut, (maaf, lupa namanya). Cuma dibandrol Rp 198 ribu.
Yang pernah berkunjung ke Padang pasti  kenal Rumah Makan Lamun Ombak. Terbilang mewah dan berkelas, menyediakan kuliner lokal dan modern, pramusajinya berseragam rapi.
Gelagat mencurigakan
Mungkin tradisi di Ampera X  memang begitu. Jika  tamunya dari  luar daerah,  bolehlah "dipangua" alias di*e*as.
Pertama duduk di kursi makannya, saya mulai mencium gelagat mencurigakan. (Maaf jika saya negatif tinking). Seorang pelayan  mendekat dan bertanya, "Dari mana Ibu?".  Seakan-akan  dia memastikan  bahwa kami bukan penduduk  sekitar. Sebab  nomor plat mobil kami  beda dengan nomor daerah setempat.
"Dari Kerinci, Jambi." Â balas saya.
Saran/Penutup
Kasus ini  jadi pelajaran buat saya dan mungkin juga anda. Andaikan belanja di daerah baru, khususnya  di rumah makan tradisional, tak perlu memberikan  identitas  terlalu jujur kepada warga warung. Kalau ada pertanyaan serupa, katakan saja,  "Sekitar sini." atau "Saya orang sini."
Selain itu, usahakan tidak mengundang  kekepoan  orang sekitar. Misalnya terlampau royal ngomong  menanyakan ini dan itu,  kecuali anda pasif berbahasa daerah setempat.  Â
Demikian pengalaman ini saya bagikan,  mohon maaf bukan bermaksud menghakimi  orang lain, tapi itulah fakta. Saya yakin tidak banyak oknum pengusaha Rumah Makan yang gila-gilaan begitu. Semoga bermanfaat.
****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI