Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Aduh, Sulitnya Perjuangan Mengawali Hijrah ke Era Masker

27 Agustus 2020   11:54 Diperbarui: 27 Agustus 2020   11:45 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata “hijrah” jika dimaknai secara luas, dapat juga diartikan mengubah kebiasaan lama menjadi tantanan kehidupan baru.

Merujuk pada makna tersebut,   hijrah merupakan sebuah kata mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan.

Sebab, mengubah rutinitas yang telah mendarah daging bagi invidu atau kelompok, bukan perkara mudah.

Lihat saja!  Betapa sulitnya pemerintah mengajak masyarakat  menjalankan protokol kesehatan, utuk beradaptasi dengan kebiasaan baru, yang pada hakekatnya berhijrah dari era normal (sebelum covid 19),  ke fase new normal.

Untuk ke arah sana, imbauan yang sangat populer saat ini adalah mewajibkan seluruh  masyarakat agar menggunakan masker saat berada di luar rumah. Tujuannya untuk  memepersempit risikko penularan covid 19.

Contonya di DKI Jakarta. Peraturan sudah ada, Petugas standby di tempat. Alhasil, setiap hari ada saja warga yang  melanggar dan tidak menggubris imbauan tersebut.

Mereka (para pelanggar) malah  rela menjalankan hukuman yang dijatuhkan oleh petugas. Mulai sangsi push up, membersihkan fasilitas umum dengan mengenakan rompi selama 60 menit atau denda administratif sebesar Rp 250 ribu.

Rabu 19 Agustus lalu pemerintah di DKI telah menandatangani Pergub No. 79 tahun 2020, yang menjerat pelaku pelaggaran lebih berat. Bagi yang kedapatan  tidak menggunakan masker  berulang-ulang,  sangsi  administratifnya  bisa mencapai Rp 1 juta. (sumber).

Padahal, anjuran mengenakan masker bukan semata kepentingan pemerintah, dan orang-orang di sekitar. Tetapi lebih untuk keselamatan diri penggunanya sendiri.

Wajar, ada oknum yang bercuap begini, “Kalau kamu minta mati, tak usah pakai masker. Matilah sendiri. Jangan ajak orang lain.”

Intinya, mau atau tidaknya sesorang hijrah dari kultur lama, ke tradisi baru (menggunakan masker), tergantung pada kesadaran dan iktikad masing-masing.

Pemerintah berkepentingan mewajibkan warganya pakai masker. Kelompok yang kontra juga punya alasan untuk menolak.

Sebelum pandemi covid 19 saya juga tidak suka pakai masker.  Alasannya,

1. Ribet dan Risih

Tabiat saya dari muda sampai tua, senangnya  serba praktis. Beraktivitas pakai masker itu ribet bin risih.  Ngomong susah,  bernapas  susah. Teruatama saat panas terik dan di ruang pengap dan sempit.

Pertama mengenakan masker akhir April lalu,  saya sempat sebal pada pegawai sebuah BRI  unit.

Biasanya, manula seperti saya kalau berurusan di bank tersebut dilayani secara khusus.  Jalurnya berbeda dengan nasabah biasa. Meskipun bermuara pada kasir yang sama. Tetapi prosesnya cepat. 

Hari itu, servisnya berbeda. Giliran pembayaran, nama saya  terlewat oleh beberapa nasabah umum. Padahal, buku/berkas  saya duluan sampai di meja kasir. Jauh sebelum mereka-mereka itu datang.

Duakali saya konplain. Jawaban yang saya terima tetap “sabar, Bu.”  

Setengah jam lebih saya bersabar. Dada saya sesak dan sesekali berdegup, susah bernapas, kepala nyut-nyutan. Sekujur tubuh dibasahi keringat. Buka masker? tidak mungkin. Sebab aturan di bank tentang penggunaan masker sangat ketat.  Lagian saya malas kalau ditegor anak muda (petugas).

Saya lepaskan kaca mata. Supaya tidak sibuk ngelap lensanya yang berembun. Tetapi tak banyak membantu. 

Sambil ngomel saya keluar dari ruangan. Terus menuju sebuah tempat praktik tukang cukur. Segera saya tanggalkan masker.

Beberapa menit di tempat tersebut  saya lega, adem, dan bisa bernapas dengan normal. Kalau bertahan dalam ruang Bank tadi tanpa melepaskan masker, mungkin saya pingsan.

2. Mengganggu Penglihatan

Point  ini  mungkin juga berlaku pada rekan pengguna kaca mata lainnya. Pakai masker sangat mengganggu pengliahatan.

Bukan karena masker. Tetapi, tersebab embun pernapasan yang nempel pada lensa kaca mata.  Hingga kaca mata tidak berfungsi sebagaimana mestinya.  

Ini baru kasus masker. Belum lagi problem jaga jarak, berkerumunan di tempat keramaian, dan ajakan sering cuci tangan pakai sabun.

Bagaimanapun, selaku nenek-nenek yang mengerti (he he ..., ngaku),  sekarang  asal bepergian saya tetep pakai masker. Biar dicontoh sama yang muda-muda.

Ironisnya,  sebagian masyarakat ogah pakai masker karena menganggap pandemi covid 19 hanya mitos.

Demikian sekilas gambaran dan pembuktian, bahwa hijrah dari kondisi normal ke era penggunaan masker tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu perjuangan.  Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun