Kata “hijrah” jika dimaknai secara luas, dapat juga diartikan mengubah kebiasaan lama menjadi tantanan kehidupan baru.
Merujuk pada makna tersebut, hijrah merupakan sebuah kata mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan.
Sebab, mengubah rutinitas yang telah mendarah daging bagi invidu atau kelompok, bukan perkara mudah.
Lihat saja! Betapa sulitnya pemerintah mengajak masyarakat menjalankan protokol kesehatan, utuk beradaptasi dengan kebiasaan baru, yang pada hakekatnya berhijrah dari era normal (sebelum covid 19), ke fase new normal.
Untuk ke arah sana, imbauan yang sangat populer saat ini adalah mewajibkan seluruh masyarakat agar menggunakan masker saat berada di luar rumah. Tujuannya untuk memepersempit risikko penularan covid 19.
Contonya di DKI Jakarta. Peraturan sudah ada, Petugas standby di tempat. Alhasil, setiap hari ada saja warga yang melanggar dan tidak menggubris imbauan tersebut.
Mereka (para pelanggar) malah rela menjalankan hukuman yang dijatuhkan oleh petugas. Mulai sangsi push up, membersihkan fasilitas umum dengan mengenakan rompi selama 60 menit atau denda administratif sebesar Rp 250 ribu.
Rabu 19 Agustus lalu pemerintah di DKI telah menandatangani Pergub No. 79 tahun 2020, yang menjerat pelaku pelaggaran lebih berat. Bagi yang kedapatan tidak menggunakan masker berulang-ulang, sangsi administratifnya bisa mencapai Rp 1 juta. (sumber).
Padahal, anjuran mengenakan masker bukan semata kepentingan pemerintah, dan orang-orang di sekitar. Tetapi lebih untuk keselamatan diri penggunanya sendiri.
Wajar, ada oknum yang bercuap begini, “Kalau kamu minta mati, tak usah pakai masker. Matilah sendiri. Jangan ajak orang lain.”
Intinya, mau atau tidaknya sesorang hijrah dari kultur lama, ke tradisi baru (menggunakan masker), tergantung pada kesadaran dan iktikad masing-masing.