Pemerintah berkepentingan mewajibkan warganya pakai masker. Kelompok yang kontra juga punya alasan untuk menolak.
Sebelum pandemi covid 19 saya juga tidak suka pakai masker. Alasannya,
1. Ribet dan Risih
Tabiat saya dari muda sampai tua, senangnya serba praktis. Beraktivitas pakai masker itu ribet bin risih. Ngomong susah, bernapas susah. Teruatama saat panas terik dan di ruang pengap dan sempit.
Pertama mengenakan masker akhir April lalu, saya sempat sebal pada pegawai sebuah BRI unit.
Biasanya, manula seperti saya kalau berurusan di bank tersebut dilayani secara khusus. Jalurnya berbeda dengan nasabah biasa. Meskipun bermuara pada kasir yang sama. Tetapi prosesnya cepat.
Hari itu, servisnya berbeda. Giliran pembayaran, nama saya terlewat oleh beberapa nasabah umum. Padahal, buku/berkas saya duluan sampai di meja kasir. Jauh sebelum mereka-mereka itu datang.
Duakali saya konplain. Jawaban yang saya terima tetap “sabar, Bu.”
Setengah jam lebih saya bersabar. Dada saya sesak dan sesekali berdegup, susah bernapas, kepala nyut-nyutan. Sekujur tubuh dibasahi keringat. Buka masker? tidak mungkin. Sebab aturan di bank tentang penggunaan masker sangat ketat. Lagian saya malas kalau ditegor anak muda (petugas).
Saya lepaskan kaca mata. Supaya tidak sibuk ngelap lensanya yang berembun. Tetapi tak banyak membantu.
Sambil ngomel saya keluar dari ruangan. Terus menuju sebuah tempat praktik tukang cukur. Segera saya tanggalkan masker.