Beberapa kota di Indonesia telah memberlakukan larangan menggunakan kantong plastik sekali pakai. Titik awalnya dimulai dari pusat-pusat perbelanjaan. Sayangnya terobosan tersebut belum merangkul seluruh Nusantara.
Saya dan mungkin juga Anda mendukung langkah tersebut. Sebab material yang sulit terurai oleh mikroorganisme ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan ke “level mengkhawatirkan”. Baik di darat maupun di laut.
Penelitian terakhir memperkirakan saat ini ada 150 juta ton sampah plastik di laut. Selain itu, medcom.id, 18/7/2020 merilis, 8 juta ton setiap tahunnya plastik berakhir di laut.
Namun, melepaskan ketergantungan publik terhadap plastik bukan perkara mudah. Karena benda kedap zat cair tersebut dianggap dapat membantu pekerjaan rumit menjadi simpel.
Salah satu contoh, dahulu untuk membeli minyak goreng, emak-emak harus menyediakan wadah dari rumah (botol bir). Sekarang apapun bendanya yang berbentuk cairan tersedia dalam kemasan plastik.
Upaya mengurangi limbah plastik, dengan mencegah menggunakan kantong kresek saja rasanya belumlah cukup. Meskipun sebagian masyarakat taat berpuasa pakai kantong plastik.
Sebab, ada penyumbang yang lebih besar bersumber dari berbagai kemasan produk. Ada limbah kemasan deterjen, kantong minyak goreng, dan sebagainya.
Misalnya, untuk kemasan produk-produk bukan cair, tinggalkan media packaging dari bahan plastik.Ganti dengan material yang mudah didaur ulang. Minimal menyetop pembuatan/masuknya barang baru yang menggunakan kemasan plastik.
Saat pergi haji 12 tahun silam, awalnya saya jengkel pakai serbuk pencuci pakaian beli di Mekah. Sedikit saja basah, kemasannya langsung sobek dan hancur. Deterjennya berceceran di lantai kamar mandi.
Saya berpikir mungkin langkah tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah setempat mengurangi penggunaan plastik.
Andai seluruh elemen bangsa ini bergandeng tangan memerangi sampah plastik kita pasti bisa. Sebab, tanpa kantong plastik kehidupan masih bisa berlangsung.
Buktinya, jauh sebelum mengenal kantong plastik masyarakat telah terbiasa menggunakan tas belanjaan ramah lingkungan. Ada tas tentengan dari anyaman rotan, bambu, daun pandan, mensiang, bahan kain, dan sebagainya.
Ada daun pisang, daun waru, daun jati, dan daun apa saja yang biasa dimanfaatkan oleh para leluhur. Membungkus nasi pun pakai daun pisang.
Barang-barang kering produk kampung seperti gula enau, kue sagun, dan sebagainya, sebelum dijual dikemas pakai daun kerisik. Yaitu daun pisang yang sudah tua dan kering di pohon. Tujuannya supaya suhunya tetap terjaga dan tidak cepat melempem.
Saat itu tentu masyarakat tak pernah berpikir supaya ada kantong plastik. Kehidupan tetap berlangsung normal.
Tetapi kita semua tentu maklum, untuk membongkar tradisi yang telah mendarah daging tidaklah semudah yang dibayangkan. Belum lagi ada kaitannya dengan hajat hidup orang banyak.
Boleh-boleh saja pemerintah menutup pabrik plastik. Mau dikemanakan tenaga kerja yang menggantungkan suapnya pada industri tersebut?
Terakhir mohon maaf. Artikel ini ditulis bukan bermaksud menggurui pihak-pihak tertentu. Hanya sedikit berbagi buah pikir. Semoga bermanfaat. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H