Sebagian masyarakat Kerinci dan Kota Sungai Penuh memaknai kata “lapek” sebagai dua benda beda makna. Tergantung konteks.
Pertama, “lapek” sejenis kudapan yang terbuat dari adonan tertentu, dibungkus pakai daun. Lapek ini tidak hanya dikenal di tanah Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Tetapi lebih membumi di kalangan orang Minang. Ada lapek kundua, lapek bugih, lapek sagan dan lapek-lapek lainya.
Kedua, “lapek” (baca: lapik) yaitu alas duduk terbuat dari anyaman daun pandan. Sepengetahuan saya, lapek yang ke dua ini hanya ditemui di Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Anyaman berukuran kurang lebih 60 cm persegi ini merupakan bantalan duduk tradisional masyarakat Kerinci. Awal tahun 7 puluhan, lapek dapat ditemui di rumah-rumah penduduk setempat.
Kini lapek nyaris musnah ditelan zaman. Mungkin dalam satu desa boleh dihitung dengan jari keluarga yang mengoleksinya.
Kondisi ini dapat dimaklumi, selain bahan bakunya langka, proses pembuatannya pun rumit dan panjang. Untuk 1 lembar lapek belum tentu selesai dua minggu.
Setelah daun pandan dibuang durinya, ditoreh sama besar. Terus disaut* manual lembar per lembar menggunakan alat khususus. Tujuannya supaya lembut. Kemudian direbus dan diwarnai. Selanjutnya direndam dalam sungai semalaman. Besoknya dijemur pada terik matahari. Setelah kering disaut ulang sampai lemes. Terakhir dianyam.
Tak heran, harganya mahal. Sehingga kalah saing dengan bantal duduk modern yang banyak dijual di pasaran. Bahannya lembut dan empuk.
Zaman dahulu, saat tidak dipakai untuk alas duduk, lapek juga beralih peran sebagai hiasan ruangan. Disender rapi pada dinding. Ketika tamu datang, tinggal nyomot satu persatu. Terus digelar secara lesehan.