Emakku seorang single parrent beranak satu. Beliau berprofesi sebagai pedagang kecil balai ke balai (baca: pekan ke pekan).
Balai Jumat adalah pasar tradisional utama bagi Emak, jaraknya 8 km dari kediaman kami. Di sana langganan beliau lumayan banyak. Zaman itu (tahun 60 an), transportasi belum selancar sekarang. Ke mana-mana berjalan kaki.
Bayangkan, bagaimana capeknya seorang perempuan berjalan 16 km pulang pergi. Perkiraan beban di kepala kurang lebih 25 kilogram. Mungkin lebih. Tetapi beliau menjalaninya biasa-biasa saja.
Bersuluh daun kelapa kering, beliau dan rekan seperjuangannya berangkat pukul 03,00 dini hari. Momen tersebut ditandai dengan kokok ayam jantan di kandang. Sebab waktu itu kami belum punya jam.
Moda transportasi darat andalan adalah pedati, (gerobak yang ditarik oleh seekor sapi/kerbau). Tetapi jumlahnya terbatas. Yang punya hanya orang berada. Fungsinya cuman mengangkut hasil panen dan barang lainnya. Bukan bawa penumpang.
Emak hanya naik prach kalau beliau ke Balai Tapan (32 km). Tetapi seringnya duduk di bak belakang, bercampur baur dengan barang-barang pedagang.
Bangku penumpang sudah diisi oleh yang duluan naik. Khusus di samping sopir jangan harap para pedagang biasa dapat menempatinya. Sebab, Pak Sopir memilih wanita-wanita cantik.
Kalau kebetulan sepanjang perjalanan yang mencegat perempuan tua dan jelek semua, lebih baik bangku tersebut dibiarkannya kosong. Mungkin hal ini tidak berlaku bagi semua sopir. Setidaknya beberapa kali ditemui oknum sopir begitu.
Andai gadis cantiknya ada 2 atau 3, pasti dibawanya semua. Walaupun melebihi kapasitas dan berdesak-desakan seperti lemper dalam kukusan.
Tak heran, sosok sopir selalu identik dengan “Mata Keranjang”. Wanita yang memilih bersuami seorang sopir harus siap “makan hati berulam jantung”.
Tapi jangan main-main lho. Seorang gadis atau janda muda, duduk di samping sopir adalah kebanggaan tersendiri. Makanya, sopir adalah profesi bergengsi pada zamannya. He he.... Semoga hal ini cuman berlaku di daerah saya saja?
Tidak hanya gila perempuan, sikapnya terhadap kernet (pembantu) juga sangat kasar. Sering ditemui, gara-gara masalah sepele sopir memaki-maki pembantunya.
Saat kelas 4 SR, saya pernah sedih dan terisak menahan tangis. Saat itu saya naik mobil prach, ikut paman dari kampung halaman ke Kota Sungai Penuh.
Baru setengah jalan, hari hujan sangat lebat. Jalan-jalan berlubang dipenuhi genangan air keruh sewarna tanah. Lokasinya di tengah hutan belantara.
Sopir minta kernetnya turun, menjajaki bagian mana jalan yang kiri-kira aman dilewati. Sigap cowok 15 tahun itu meraba-raba genangan air tersebut dengan kakinya. Terus memberi insyarat agar mobil agak sedikit ke kanan.
Begitu gas diinjak, roda depan kanan terperosok ke dalam lubang dalam. Semakin digas, kian terbenam. Mesin pun mati.
Habislah kernet itu dimarahi sopir kumisan berperwakan sedang tersebut. Makiannya tak pantas ditujukan kepada manusia. Aduh, kasian. Mana badannya basah kuyup.
Air mata saya meleleh karena sedih. Tangis menyengkang di kerongkongan. Serasa perlakuan tersebut menimpa paman saya. Sampai kini kenangan jelek itu tak pernah terhapus dari benak saya. Kekejaman sopir terhadap kernet masih sering ditemui pada era tujuh puluhan.
Sekarang zaman telah berubah. Tiada lagi para sopir yang memilih-milah penumpang. Pengoperasian transportasi sudah tertata. Mobil barang dan penumpang menjalankan fungsinya masing-masing.
Dapat dimaklumi. Karena “maaf”, sopir zaman dahulu minim pendidikan. Bahkan banyak yang tak bisa baca tulis.
Beda dengan masa kini, seiring kemajuan pendidikan sumber daya manusia termasuk sopir jauh lebih bermutu. Sehingga tindak-tanduk, kata-kata, dan emosinya lebih terkendali dan bermartabat.
Andai ada oknum yang berulah, dia harus siap dengan segala konsekwensinya. Memperlakukan anak-anak di bawah umur dengan tidak manusiawi, bisa dijerat Undang-Undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002. Dan undang-undang lainnya.
Ancaman lain tak kalah mengerikan, bukan tidak mungkin suatu saat korban nekat menerapkan hukum rimba pada si pelaku.
Demikian artikel ini ditulis sekadar pengingat bahwa kenangan ini pernah ada. Salam dari Pinggir Danau Kerinci. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H