Tapi jangan main-main lho. Seorang gadis atau janda muda, duduk di samping sopir adalah kebanggaan tersendiri. Makanya, sopir adalah profesi bergengsi pada zamannya. He he.... Semoga hal ini cuman berlaku di daerah saya saja?
Tidak hanya gila perempuan, sikapnya terhadap kernet (pembantu) juga sangat kasar. Sering ditemui, gara-gara masalah sepele sopir memaki-maki pembantunya.
Saat kelas 4 SR, saya pernah sedih dan terisak menahan tangis. Saat itu saya naik mobil prach, ikut paman dari kampung halaman ke Kota Sungai Penuh.
Baru setengah jalan, hari hujan sangat lebat. Jalan-jalan berlubang dipenuhi genangan air keruh sewarna tanah. Lokasinya di tengah hutan belantara.
Sopir minta kernetnya turun, menjajaki bagian mana jalan yang kiri-kira aman dilewati. Sigap cowok 15 tahun itu meraba-raba genangan air tersebut dengan kakinya. Terus memberi insyarat agar mobil agak sedikit ke kanan.
Begitu gas diinjak, roda depan kanan terperosok ke dalam lubang dalam. Semakin digas, kian terbenam. Mesin pun mati.
Habislah kernet itu dimarahi sopir kumisan berperwakan sedang tersebut. Makiannya tak pantas ditujukan kepada manusia. Aduh, kasian. Mana badannya basah kuyup.
Air mata saya meleleh karena sedih. Tangis menyengkang di kerongkongan. Serasa perlakuan tersebut menimpa paman saya. Sampai kini kenangan jelek itu tak pernah terhapus dari benak saya. Kekejaman sopir terhadap kernet masih sering ditemui pada era tujuh puluhan.
Sekarang zaman telah berubah. Tiada lagi para sopir yang memilih-milah penumpang. Pengoperasian transportasi sudah tertata. Mobil barang dan penumpang menjalankan fungsinya masing-masing.
Dapat dimaklumi. Karena “maaf”, sopir zaman dahulu minim pendidikan. Bahkan banyak yang tak bisa baca tulis.
Beda dengan masa kini, seiring kemajuan pendidikan sumber daya manusia termasuk sopir jauh lebih bermutu. Sehingga tindak-tanduk, kata-kata, dan emosinya lebih terkendali dan bermartabat.