Biarin orang ngomong apa. Paling kuatnya sebulan. Setelah itu mereka bosan sendiri ...
Demikian inti dari curhat karib saya Inda, bukan nama sebenarnya. Saat itu dirinya dihina orang sekampung  atas sikapnya yang tidak lazim. Diam-diam wanita 48 tahun itu menggugat cerai suaminya dan memilih menikah dengan pria lain. Padahal  suaminya masih sayang.
Alasannya, 23 tahun  berumah tangga mereka menjalani Long Distance Marriage (LDM). Saumi yang berdomisili di negeri seberang, enggan pulang ke kampung isterinya. Sebaliknya isteri ogah ikut suami.
Paling bertemunya 1 kali dalam 5 tahun. Kadang-kadang suami nyamperin isteri, adakalanya isteri  beranjang sana ke tempat suami barang sebulan dua bulan. Syukur mereka dikaruniai 3 anak.
Spontan, Inda menjadi buah bibir orang sekampung. Â Termasuk dibenci oleh anak-anaknya. Â Tetapi dia menghadapinya dengan enteng.Â
Birain orang ngomong apa. Paling kuatnya sebulan. Setelah itu mereka bosan sendiri. Yang penting apa yang saya lakukan baik menurut saya. Tidak melanggar agama dan etika. Â Karena saya yang menjalani. Bukan mereka.
Saya salut pada Inda. Ucapannya terbukti seratus persen. Â Hebohnya hanya dalam hitungan minggu. Habis itu masyarakat sudah lupa. Mungkin karakter orang Indonesia itu memang mudah lupa.
Pengalaman saya, tahun 1976 saya difitnah oleh keluarga sendiri. Saya dituding melakukan  sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan saya.  Saya dihujat orang sekampung habis-habisan.  Orangtua saya dicaci maki.
Saya benar-benar stress, sehingga seperti orang senewen. Siapapun yang  ikut menyebarkan fitnah tersebut, saya serang. Malam-malam saya bergulat melawan imsonia.
Maklum zaman itu komunikasi sangat minim. Tak ada pula orang  atau sanak keluarga yang mengarahkan agar masalah itu dibawa ke jalur hukum. Saya dan orangtua buta hukum. Diperparah pula ekonomi yang sangat lemah.
Lagipula di kampung, apabila kita dalam keadaan terjepit, kucing kurap pun ikut menghimpit. Sepuluh ribu kali pun kita benar, mereka tetap berpihak kepada orang banyak yang mengaggap kita salah.
Ternyata ributnya cuman beberapa minggu. Setelah  itu, situasi aman terkendali.
Beberapa tahun  kemudian hubungan keluarga terjalin kembali.  Meskipun sampai saat ini kadang saya sering sedih dan benci. Tetapi terbayar oleh sikap mereka yang sangat pandai bermanis-manis  kepada kami sekeluarga. Â
Berkaca dari dua peristiwa tersebut, Â cara ampuh untuk menhindari sakit hati karena celaan dan fitnah adalah dengan memegang prinsip Inda,
Biarin orang ngomong apa. Paling kuatnya sebulan. Setelah itu mereka bosan sendiri ...
Mantra ini telah terbukti ampuh bagi sobat saya Inda untuk menghindari sakit hati atas hinaan orang lain. Jujur, saya banyak belajar darinya. Â
Peristiwa tersebut terjadi kurang lebih 20 tahun lalu. Kini dia menua bersama suami barunya. Anak-anaknya pun sudah menerima keputusan ibunya. Meskipun mungkin dengan sedikit keterpaksaan.
Sebaliknya dalam kasus saya, Â perlawanan yang saya lakukan hanya menambah panjang rantai sakit hati. Â Tersebab emosi yang tidak terkendali, Â banyak pihak lain yang tersinggung. Namanya saja orang marah. Saya telah melakukan kekeliruan besar.
Terlalu jauh memikirkan ocehan orang lain, Â berarti membangun ruang sakit hati, perasaan tidak nyaman, merusak kesehatan, dan membuang-buang energi.
Bukan berati tidak mengindahkan kritik sama sekali. Karena kritik medium untuk membenahi diri supaya belajar dari kesalahan. Intinya, lakukan apa yang terbaik menurut kita.
Celaan, cacian, dan hinaan yang membombastis terhadap seseorang menghangatnya  cuman beberapa saat. Setelah itu,  publik lebih peduli dengan urusannya masing-masing ketimbang  mikirin masalah orang lain.
Bangun tidur mereka mau masak apa. Habis sarapan akan ke mana, dan harus melakukan apa untuk membangun perekonomian keluarga,
Demikian sedikit kiat membebaskan diri dari sakit hati karena hinaan. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H