“Orang bilang dari internet. Makonyo awak (makanya Anda) itu sering-sering keluar. Supayo tahu masalah dalam dusun,” balasnya.
“Mak Tuo! Saya tiap hari buka internet. Tiada satu berita pun yang mengatakan bahwa matahari akan berhenti bersinar selama 40 hari 40 malam.
“Kalau memang ado, pasti Allah lebih duluan memberitahukan kepada umatNya dalam Al Qur-an. Seperti kabar tentang hari kiamat,” tukas saya.
“Entah lah, sakit kapalokku (kepalaku). Mana mikirkan fitnah tentang penyakit mimin (kini). Mau ke musala takut keluar rumah,” lanjutnya.
“Kalau penyakit itu berita benaran. Bukan fitnah. Namanya penyakit Corona. Bagus lah Mak Tuo tak berani keluar. Sebab sifat corona pindah-pindah dari satu orang ke orang lain.”
“Mak Ujang beli 5 kaleng. Beliau ini malah lebih siap. Keperluan dapurnya sudah lengkap, setidaknya untuk stok 1 bulan ke depan.” Lagi-lagi kami tertawa. Saya pamit pulang.
Hoax memang kejam dan berbahaya. Bahkan bisa lebih kejam darpada Virus Corona. Terutama bagi masyarakat pedesaan yang awam. Mereka orang-orang polos. Tak bisa memilih-milah mana yang fitnah mana yang bukan.
Buktinya, kebohongan tentang matahari akan berhenti bersinar 40 hari 40 malam tersebut telah mengobrak-abrik ketenangan masyarakat. Minimal warga di sekitar kediaman saya.
Karena jarang keluar rumah, saya tak tahu sampai di mana isu ini berkembang.
Sangat disayangkan, para korban hoax yang saya ceritakan di atas, punya anak berpendidikan SMA. Apakah mereka tidak memberitahukan orangtuanya, kalau kabar tersebut tidak logis dan belum terbukti secara ilmiah.