Nyapu sudah, Nyupir (nyuci piring) sudah. Nyuci pakaian sudah. Singkat kata, segala urusan rumah tangga untuk tadi pagi sudah tuntas.
Saat akan melanjutkan rutinitas ke 2, yakni menulis, ide mandek. Hampir satu jam saya berkelana di alam maya dengan harapan, ketemu gagasan tak terduga.
Saya keluar. Sekalian mengantarkan sesuatu ke rumah tetangga. Seorang nenek SS (82), yang masih sehat walafiat, dan ceria.
“Bu, Nantik fitrahnya dibagih akau (dikasih aku), Ya!” katanya.
Saya berpikir sejenak. Mungkin beliau ini akan “berpulang”. Tak biasanya dia begitu. Minta-minta fitrah. Orangnya tidak miskin-miskin amat, tidak juga kaya. Kiriman anak-anaknya di rantau lancar. Sering melalui rekening saya. Dari anak di kampung pun dapat jatah. Meskipun tidak banyak.
Saya menjawab, “Insyaallah.”
“Jangangan insyallah, Bu. Akau ni pneeeng (aku ni pusing). Punya uang cuman segini. Beras tak ada,” balasnya sekalian memperlihatkan 2 lembaran Rp 50 ribu.
“Emaknya si Anu (tetangga sebelah), kemaren beli beras 9 kaleng (1 kleng = 16 kg). Dua untuk dia sisanya buat anaknya S yang tinggal di Sungai Penuh itu. Untuk persiapan dunia kelam 40 hari nantinya,” tambah dia.
“Hah ...? Kelam ...? Mak Tuo dapat kabar dari mano?”
“Masak Ibu dak tahu. Orang dusun kito ni lah hioh (dusun kita dah heboh),” sambungnya. “Seminggu lalu, Emak Ujang beli beras 5 kaleng. Lengkap dengan keperluan dapur untuk bekal 40 hari. Cuman akau yang dak ado bekal apo-apo. Karena tiada uang. ”
Saya balik nanya, “Mak Tuo dapat cerito dari mano?”