“Mula-mula, yang disuruh tutup itu balai (pasar tradisional). Tapi masyarakat tidak menggubrisnya. Tetap digelar 2 kali sehari pagi dan sore. Kecuali bulan puasa cuman sekali. Mulai pukul 13.00 sampai jam 16.00 sore. Pengunjungnya malah semakin ramai.” jelas Elama.
Berdasarkan fakta, plus informasi dari dua sumber tersebut patut diduga, seluruh desa yang ada dalam Kabupaten Kerinci tetap melaksanakan Salat Tarawih berjamaah di Masjid dan Musala.
Imbauan pemerintah untuk mempraktikkan social distanting dan physical distanting hanya selogan penghias spanduk, untuk mempercantik setiap persimpangan jalan.
Belajar di rumah dan Work From Home (bagi orang kantoran), terlaksana. Jaga kebersihan okey, makan makanan bergizi gampang, yang penting ada beras yang mau ditanak, tidur teratur pasti, asalkan perut kenyang, pakai masker saat keluar rumah baru dipatuhi oleh segelintir individu.
Kalau di kota besar seperti DKI Jakarta, yang sulit dibendung adalah animo masyarakat untuk mudik. Maka di daerah Kabupaten Kerinci paling susah dicegah berkerumunan di tempat ramai dan beraktivitas di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan perut.
Hal ini dapat dimaklumi. Pertama, selain cultur masyarakat Kerinci yang terkenal agamais, penduduk pedesaannya mayoritas bermata pencaharian jadi petani. Ada sedikit sebagai pedagang kecil. Dua yang terakhir ini sangat menggantungkan suapnya di pasar-pasar tradisional.
Alasan ke dua, Kabupaten Kerinci memang merupakan salah satu zona merah dalam Provisi Jambi. Tetapi Provinsi yang terletak di Pinggang Pulau Sumatera ini belum menerapkan pembatasan sosial berskala-besar (PSBB).
Sedikit berbeda dengan di Kota Sungai Penuh. Masjid dan musala ditutup semua. Kerumunan manusia tetap berlangsung, toko tetap buka seperti belum berjangkitnya Covid- 19. Padahal Sungai Penuh juga berstatus Zona Merah.