Sejak seorang warganya dinyatakan positif Covid-19 pada 31 Maret lalu, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, berubah status menjadi zona merah. Namun, khusus di daerah saya, meliputi 3 desa hasil pemekaran (Tanjung Tanah, Simpang Empat, dan Dusun Baru Tanjung Tanah), tampaknya aman-aman saja. Meskipun masih ada problem di sana-sini.
Sebagian masyarakat mulai sadar dan mematuhi seruan social distancing, physical distancing, dan work from home.Â
Kemarin sekira pukul 11.00 WIB saya sengaja menyusuri jalan-jalan di Desa Tanjung Tanah dan Desa Baru Tanjung Tanah. Â
"Orang kantoran bisa nyari duit dari rumah. Sedangkan kami? Seperti ayam, tidak mengais tak dapat makan. Apa bisa nyangkul sawah dari rumah? Nangkap ikan di danau sambil tiduran di rumah?" kata Ibu EM Â seorang petani kenalan saya. Â
Yang patut diacungi jempol, tidak seorang pun terlihat anak-anak bermain di halaman. Menurut salah satu penduduk setempat, kondisi seperti ini berlangsung mulai pagi sampai sore. Sekolah, Tahfiz Alquran, dan TPA diliburkan. Sehingga desa tersebut terasa sunyi bak negeri dalam dongeng.Â
"Jangan main jauh-jauh ya. Emak takut kepalamu dipotong orang gila."
"Jangan sendirian lewat di jalan raya, sekarang musim penculik berkeliaran."
"Jangan makan pemberian orang. Nanti mulutmu berdarah."
Dan banyak larangan-larangan lain berjudul "jangan" yang ditanamkan orang tua-tua kepada anak-anak.Â
Awalnya saya berpikir, kebiasaan menakuti-nakuti seperti itu akan berdampak negatif terhadap perkembangan mentalitas si kecil. Salah satunya anak-anak akan tumbuh menjadi pengecut. Setelah dewasa kelak mereka akan mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat yang lebih luas.Â
Di balik itu, rupanya ada efek positifnya juga dalam upaya memutuskan mata rantai Covid-19. Saat diminta bermain #DiRumahSaja seperti sekarang ini, mereka menjalaninya sepenuh hati.Â