Ita kenalan saya, pekerja yang tergabung dalam grup wanita buruh tani setempat menuturkan, bekerja dalam kongsian itu tak terasa capeknya. Sambil bercerita ngaur ngidul, gelak tawa berderai-derai. "Letihnya nanti malam. Usai salat Isya langsung ngorok. Bangun Subuh," akunya.
Ita menambahkan, "Satu lagi keistimewaan kerja rame-rame sesama perempuan tani. No pelecehan, No perkosaan seperti yang sering diberitakan di tivi-tivi itu." Ibu muda lulusan SMA tersebut tertawa.
Ketika ditanya, apakah sistim pembayaran sekali setahun itu tidak pernah macet?
"Alhamdulillah belum, Bu." jawabnya.
Herannya, rata-rata pekerja perempuan yang pernah bekerja di kebun saya menceritakan, kalau tidak ke kebun justru otot tubuhnya terasa pegal, agak meriang, kurang enak tidur, dan kurang selera makan.
Bagaimanapun manisnya pengakuan mereka, tak terbayang capeknya hari-hari bergelut dengan tanah dan cangkul. Sampai di rumah, kewajiban lain menunggu. Mundar-mandir ke sumur, dapur, dan kasur. Belum lagi tugas spesial melayani si doi bagi yang bersuami. Ya, Ampun...
Angkat topi bagi wanita pegulat kehidupan ini. Beliau-beliau adalah perempuan tangguh. Sayangnya energi mereka yang terkuras tidak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka terima.Â
Predikat bapak dan ibu tani hanya diagung-agungkan dengan berbagai kata bijak oleh pihak-pihak yang berkepentingan. "Petani adalah ujung tombak kedaulatan pangan. Perhtikan mereka! Lindungi mereka! Supaya mereka lebih sejahtera."
Keberadaan emak-emak buruh tani tersebut tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka punya andil besar dalam menggerakkan ekonomi rumah tangga dan keluarga di pedesaan.
Selain itu, meskipun di era teknologi ini tenaga manusia mulai kurang dibutuhkan, ada bidang-bidang tertentu yang tak bisa tidak menggunakan tangan manusia. Terutama tangan-tangan lembut wanita.Â
Katakanlah untuk memanen tomat, cabe, dan kopi. Urusan ini lebih pas dikerjakan emak-emak daripada oleh bapak-bapak. Terlebih di daerah saya Kerinci sini, berkebun masih didominasi oleh petani tradisional.