Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keren, Sistem Upah Perempuan di Desa Ini Mendahului Wacana Pak Jokowi

9 Maret 2020   20:01 Diperbarui: 10 Maret 2020   04:53 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua wanita sedang bekerja di area yang curam tanah berbukit. Dokumentasi pribadi.

Mereka tak ambil pusing apa itu Omnibus Law, tak mau tahu tentang International Women's Day (IWD). Tiada juga menuntut kesetaraan gender. Yang penting, mereka bekerja demi mendapatkan uang untuk menambah income keluarga.

Barangkali itulah yang lengkat di benak kaum buruh perempuan lapisan paling bawah di pedesaan, yang menjual jasanya di sawah dan ladang.

Di daerah kebun saya Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Jambi, durasi kerjanya 5 jam. Masuk pukul 07.00, keluar pukul 12.00, dengan upah Rp 50 ribu per hari. Dapat jatah snack satu kali. Untuk makan siang bawa bekal sendiri-sendiri.

Mereka bekerja di lahan kering (kebun). Mulai menanam, merumput, memupuk, sampai memanen. Sesuai musimnya.

Lain di Batang Merangin, beda pula di Daerah Danau Kerinci (tempat saya berdomisili). Di sini, kebanyakan emak-emak buruh tani beraktivitas di tanah basah (sawah).

Mau masuk pukul 08, atau 09, pulang cepat atau lambat, terserah. Sebab mereka dibayar berdasarkan jam kerja.  Dapat snack satu kali dan sambal untuk makan siang. Nasi bawa masing-masing.

Zaman sekarang, per jamnya Rp 10 ribu. Sistem pengupahan begini sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu. Artinya dalam hal penggajian warga Danau Kerinci duluan keren ketimbang pemerintah Pak Jokowi, yang sekarang masih berkutat dengan Omnibus Law-nya.

Di Tebing Tinggi desa tetangga, sistemnya beda lagi. Ibu-ibu buruh tani tersebut bekerja di bawah satu komando atau grup. Dalam satu desa terdapat beberapa grup yang beranggotakan belasan orang, berusia antara 20-55 tahun. 

Ketika pemilik kebun/sawah butuh tenaga kerja, tinggal pesan pada ketua kelompok. Gajinya dihitung sesuai jumlah jam kerja.

Mereka mulai aktif habis lebaran. Berakhir sebelum puasa Ramadhan berikutnya (kira-kira 9 bulan). Uniknya dalam kurun itu, gajinya mereka titipkan dulu pada pemilik lahan tempatnya bekerja. Diambil sekaligus sebelum Ramadhan. Tujuannya buat tabungan belanja puasa dan lebaran.

Umumnya para wanita pahlawan pangan ini beraktivitas 6 hari per minggu non stop. Kecuali ada halangan yang merintangi. Kalau order lagi kosong setidaknya bekerja di kebun sendiri. Hari pekan (pasar tradisional) libur.

Ita kenalan saya, pekerja yang tergabung dalam grup wanita buruh tani setempat menuturkan, bekerja dalam kongsian itu tak terasa capeknya. Sambil bercerita ngaur ngidul, gelak tawa berderai-derai. "Letihnya nanti malam. Usai salat Isya langsung ngorok. Bangun Subuh," akunya.

Ita menambahkan, "Satu lagi keistimewaan kerja rame-rame sesama perempuan tani. No pelecehan, No perkosaan seperti yang sering diberitakan di tivi-tivi itu." Ibu muda lulusan SMA tersebut tertawa.

Ketika ditanya, apakah sistim pembayaran sekali setahun itu tidak pernah macet?

"Alhamdulillah belum, Bu." jawabnya.

Herannya, rata-rata pekerja perempuan yang pernah bekerja di kebun saya menceritakan, kalau tidak ke kebun justru otot tubuhnya terasa pegal, agak meriang, kurang enak tidur, dan kurang selera makan.

Bagaimanapun manisnya pengakuan mereka, tak terbayang capeknya hari-hari bergelut dengan tanah dan cangkul. Sampai di rumah, kewajiban lain menunggu. Mundar-mandir ke sumur, dapur, dan kasur. Belum lagi tugas spesial melayani si doi bagi yang bersuami. Ya, Ampun...

Angkat topi bagi wanita pegulat kehidupan ini. Beliau-beliau adalah perempuan tangguh. Sayangnya energi mereka yang terkuras tidak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka terima. 

Predikat bapak dan ibu tani hanya diagung-agungkan dengan berbagai kata bijak oleh pihak-pihak yang berkepentingan. "Petani adalah ujung tombak kedaulatan pangan. Perhtikan mereka! Lindungi mereka! Supaya mereka lebih sejahtera."

Keberadaan emak-emak buruh tani tersebut tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka punya andil besar dalam menggerakkan ekonomi rumah tangga dan keluarga di pedesaan.

Selain itu, meskipun di era teknologi ini tenaga manusia mulai kurang dibutuhkan, ada bidang-bidang tertentu yang tak bisa tidak menggunakan tangan manusia. Terutama tangan-tangan lembut wanita. 

Katakanlah untuk memanen tomat, cabe, dan kopi. Urusan ini lebih pas dikerjakan emak-emak daripada oleh bapak-bapak. Terlebih di daerah saya Kerinci sini, berkebun masih didominasi oleh petani tradisional.

Terakhir sebagai renungan bersama, menurut pengalaman setangguh apapun seseorang baik laki-laki maupun perempuan, yang namanya jadi kuli mengandalkan otot, nasib sulit akan berubah. 

Selamat Hari Perempuan Internasional 2020. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun