Lagi-lagi dendang usang. Kalau hidup dalam keadaan melarat, jangankan manusia, lalat pun enggan mendekat. Â
Sebab, kebanyakan kita kurang menyadari, bahwa tiada yang tahu apa yang terjadi di hari esok. Mereka yang miskin sekarang belum tentu anak cucunya kelak juga melarat.  Â
Fakta tak pernah berdusta. Banyak orangtua yang dahulunya sensara, sekarang anak-anaknya kaya raya. Salah satu contohnya, sosok yang pernah menjadi pejabat penting di negeri ini pada zamannya (maaf kalau saya lancang mengungkit masa lalu orang lain). Sebaliknya, ada pula mereka yang dahulu punya harta melimpah, kini anak cucunya jadi pengemis.
Tidak sepantasnya peristiwa anak makan sabun ini terjadi. Sebab, untuk membantu keluarga miskin setiap tahunnya pemerintah pusat telah mengucurkan dana triliunan rupiah.
Kalau memang keluarga nenek Soriani ini belum diprioritaskan menerima bantuan secara materi tersebab berbagai pertimbangan, Â minimal masyarakat dan aparat desa setempat mempedulikan mereka secara moril. Bantu mereka menyerahkan anak-anak tersebut ke panti sosial. Bukankah Pasal 34 (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan, "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara."
Mirisnya, penderitaan bocah pemakan sabun ini terkuak di tengah mabuknya oknum elit politik main suvei-surveian  dan merajut angan siapa yang bakal jadi calon presiden untuk priode berikutnya. Padahal, roh  pilpres 2024 masih menggantung di langit ke tujuh.
Belum lagi hiruk pikuknya baku protes dan saling bantah, terkait dengan aneka fatwa. Yang agama musuh Pancasila, yang kaya disarankan menikahi si  miskin, yang berenang di kolam bisa hamil. Pusing, deh. Sepertinya para pemimpin bangsa ini kurang pekerjaan.Â
Mengingat banyaknya problem kemiskinan yang belum tertangani, pantaskah negeri ini menyandang status negara maju? Hanya waktu yang menjawab.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H