Ketika pemerintah dan sebagian masyarakat RI berbangga dengan dicoretnya Indonesaia dari status negara berkembang, berganti dengan negara maju oleh Amerika Serikat, tak berpengaruh apa-apa bagi masyarakat akar rumput di pedesaan. Mereka tidak ambil pusing dengan efek positif dan negatifnya terhadap perekonomian negara Indonesia. Yang mereka pikir, Â bagaimana bisa makan sesuap pagi, sesuap petang.
Empat hari terakhir, saya terenyuh dengan pemberitaan dari berbagai media daring. Tiga bocah kakak beradik terpaksa makan sabun karena kelaparan.
Yang  paling besar Novri (9), nomor 2 Juliandi (7) dan si bungsu  Andika (4). Ketiganya diasuh oleh ayahnya Rosul (45) dan neneknya Soriani Batubara (80) di rumah sederhana 6x6 meter peninggalan suaminya, di Desa Muara Tais II, Kecamatan Angkola Muara Tais, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara. Â
Kedua orangtua  Novri bersaudara ini telah bercerai. Ibunya kabur dan telah menikah dengan pria lain. Ayahnya cuma pekerja serabutan, yang hanya dapat uang kalau ada orderan mencangkul dan membersihkan kebun. Kondisinya diperparah karena kesehatan jiwanya agak terganggu.
Kebiasaan makan sabun ini mereka lakukan karena tidak ada yang dimakan untuk menghilangkan lapar.
Meskipun dalam keadaan susah, Novri rajin ke sekolah. Kini dia duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Untuk membantu beban keluarga, Novri menerima upah mencuci pakaian tetangga di sungai. Kedua adiknya ikut mendampingi. Dari situlah mereka memperoleh sabun untuk dimakan.Â
Ironisnya, sebuah Plang Pos Yandu yang  bertuliskan imbauan, "Tambah umur, Tambah berat, Tambah sehat," dengan gambar Ketua TP PKK Tapsel Hj Saufina Syahrul Pasaribu terpajang gagah di halaman rumah Soriani Batubara.
Namun, kepada awak media nenek  Soriani mengaku, keluarganya tidak pernah mendapatkan bantuan apa-apa  dari pemerintah desanya. Seperti,  program keluarga harapan (PKH), kartu sehat, beras miskin, bahkan program bantuan sekolah buat cucu-cucunya. Baru sekarang dirinya mendengar program bantuan tersebut.
Kisah ini diketahui publik setelah diberitakan oleh media lokal MedanMerdeka.com, Minggu (23/2). Terus tersebar luas oleh warganet di media sosial.
Biasa. Lagu lama. Setelah viral di dunia maya, banyak pihak yang kasak kusuk. Sekarang, tiga beradik itu sudah dibawa ke Puskesmas oleh pihak terkait untuk pemeriksaan kesehatan.
Sulit dipercaya kalau sebelumnya pemerintah desa tidak mengetahui, bahwa warganya telah lama dilanda kelaparan sampai-sampai makan sabun. Kecuali masyarakat setempat membekap mulut, aparat desanya menutup telinga.
Lagi-lagi dendang usang. Kalau hidup dalam keadaan melarat, jangankan manusia, lalat pun enggan mendekat. Â
Sebab, kebanyakan kita kurang menyadari, bahwa tiada yang tahu apa yang terjadi di hari esok. Mereka yang miskin sekarang belum tentu anak cucunya kelak juga melarat.  Â
Fakta tak pernah berdusta. Banyak orangtua yang dahulunya sensara, sekarang anak-anaknya kaya raya. Salah satu contohnya, sosok yang pernah menjadi pejabat penting di negeri ini pada zamannya (maaf kalau saya lancang mengungkit masa lalu orang lain). Sebaliknya, ada pula mereka yang dahulu punya harta melimpah, kini anak cucunya jadi pengemis.
Tidak sepantasnya peristiwa anak makan sabun ini terjadi. Sebab, untuk membantu keluarga miskin setiap tahunnya pemerintah pusat telah mengucurkan dana triliunan rupiah.
Kalau memang keluarga nenek Soriani ini belum diprioritaskan menerima bantuan secara materi tersebab berbagai pertimbangan, Â minimal masyarakat dan aparat desa setempat mempedulikan mereka secara moril. Bantu mereka menyerahkan anak-anak tersebut ke panti sosial. Bukankah Pasal 34 (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan, "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara."
Mirisnya, penderitaan bocah pemakan sabun ini terkuak di tengah mabuknya oknum elit politik main suvei-surveian  dan merajut angan siapa yang bakal jadi calon presiden untuk priode berikutnya. Padahal, roh  pilpres 2024 masih menggantung di langit ke tujuh.
Belum lagi hiruk pikuknya baku protes dan saling bantah, terkait dengan aneka fatwa. Yang agama musuh Pancasila, yang kaya disarankan menikahi si  miskin, yang berenang di kolam bisa hamil. Pusing, deh. Sepertinya para pemimpin bangsa ini kurang pekerjaan.Â
Mengingat banyaknya problem kemiskinan yang belum tertangani, pantaskah negeri ini menyandang status negara maju? Hanya waktu yang menjawab.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H