Bertahun-tahun bermuram durja, kini petani  sawit bisa sedikit tersenyum.  Beberapa bulan terakhir nilai jual sawit berangsur bangkit.  Untuk priode 7-13 Februari 2020, Harga Tandan Buah Segar (TBS)  Sawit Provinsi Jambi, antara Rp 1.441,45-1.830,83 / kg. (InfoSAWIT08/02/2020).  Padahal, sebelumnya pernah terhempas ke angka Rp 5000/kg di tingkat petani.
Sebaliknya petani karet menjerit pilu karena nilai jual getah turun drastis. Â Sekarang di daerah saya, Kabupaten Kerinci, Jambi, di tingkat petani cuma Rp 5000/kg.
Mendingan menggores/menyadap  karet sendiri.  Andai bekerja di kebun orang lain, berapa pendapatan penyadapnya. Misalkan seseorang dapat mengumpulkan getah  10  kg per hari, dia hanya berhak dua pertiga dari hasil penjualan. Sisanya  jatah empunya. Kalau hari hujan tukang gores malah tak  berpenghasilan sama sekali.
Sangat tidak seimbang dengan biaya operasionalnya. Belum lagi energi yang terkuras, darah yang dihisap pacat dan nyamuk.
Di kampung saya nyamuk di kebun karet,  seperti kawanan lebah. Tanpa anti nyamuk bakar  jangan diharap penyadap bisa fokus. Menggunaka krim sejenis autan tidak mempan.
 "Habis mau bagaimana lagi,"  keluh Ef petani karet sekaligus penggores. "Mau diganti dengan tanaman lain semisal sawit, dikasih makan apa anak isteri menjelang tanaman baru berproduksi. Lagi pula hati ini  masih berharap, harganya kembali  seperti sebelum tahun 2012" tambah ayah 2 anak itu. Â
Kini pria 43 tahun itu terbaring lemas di tempat tidur tersebab sakit.  Dia mengklaim  penyakit yang  menderanya saat ini efek dari profesinya sebagai penyadap karet. Perutnya sekeras batu. Kalau diisi napasnya sesak.
Sebagai orang kampung saya paham kondisi ini.  Penyakit begitu  memang langganan  tukang sadap.  Sebab, ketika mereka menoreh  pohon karet, yang  tegang bukan hanya otot tanangan. Perutnya juga ikut kejang. Terutama jika garis sayatannya terlalu tinggi,  karena luka pohonnya bagian bawah belum sembuh.
Selama sakit Ef tak mampu lagi menafkahi anak isterinya. Sementara dia tak punya tabungan sepersenpun. "Bagaimana saya menabung, untuk makan sehari-hari saja ngos-ngosan," katanya.
Ini adalah potret kemiskinan yang dialami oleh satu dari 9,22 persen penduduk miskin di Indonesia.
Selama ini, usaha pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan tidak perlu diragukan. Berbagai program bantuan sosial untuk rakyat  diluncurkan. Ada Program Indonesia Pintar (PIP), Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), dan lain sebagainya. Tak lama lagi menyusul kartiu Pra-Kerja.
Para penerima bantuan tersebut, khususnya  penerima PIP dan PKH, tinggal nunggu tanggalnya seperti pensiunan PNS.
Kadang saya berpikir, sampai kapan mereka (penerima PKH)  ini dimanjakan oleh pemerintah. Betulkah, dengan bantuan seperti ini dapat mengubah perekonomian rakyat jadi  lebih baik?
Okelah. Daripada  uang negara dirampok para koruptor, biar  PKH-er  ini nyicip.
Sepanjang yang pernah saya alami (era 7 puluhan), kemiskinan  di Indonesia ini akan dapat dikurangi kalau petaninya sejahtera. Berikan pupuk gratis , tingkatkan harga barang komuditi seperti sawit, karet, cengkeh, kopi, kopra dan produk pertanian lainnya. Dijamin masyarakat  pedesaan akan sejahtera. Angka kemiskinan bisa ditekan.
 Apabila rakyat pedesan punya uang banyak, tentu daya beli mereka akan  tinggi. Rembesannya sampai  ke perkotaan. Saya sering dicurhatin  para pedagang di kota.  Rata-rata mereka mengatakan masa jayanya berdagang saat hasil tani rakyat, dihargai mahal.
Sebelum tahun 2012, dimana nilai jual karet pernah menyentuh angka 20 ribu, adalah masa emasnya  masyarakat provinsi Jambi. Sebab, sebagian besar penduduk pedesaannya petani karet.
Saya masih ingat, semasa adik ipar saya bertani karet di Kabupaten tebo. Â Zaman itu saya udah puluhan tahun mengajar cuman mampu beli satu motor kredit. Sedangkan dia punya 2 mobil dan 3 unit motor. Â
Hal serupa dialami juga oleh petani karet lainnya di desa tempatnya berdomisili.Â
Jadi, kalau pemerintah serius untuk meminimalisir kesenjangan ekonomi, awalilah dengan meningkatkan kesejahteraan petani pedesaan.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H