Aku bingung. Nampaknya nenek juga bingung. Dalam hati aku berbisik, "Maaak ..., Ramainya! Rupanya  inilah negeri yang disebut Jambi." Kutengok kiri dan  kanan, semua asing bagiku.
Matahari semakin tinggi. Aku capek. Tentu nenek, kedua adikku Cali dan Patma juga capek. Maklum, 48 jam numpang bak tereller Jeep dari Kota Bangko, melewati jalan berlubang-lubang.Â
 Aku melangkah ke bawah pohon. Oh, syukur. Ada bangku kayu panjang. Kuajak Cali dan Patma duduk di sana. Nenek menyusul.
 "Nek! Mau minum," rengek si bungsu Patma.
"Saya juga, Nek," Â sambung Cali.
Nenek menenangkan bocah 4 dan 6 tahun itu. "Sabar ya, Cu. Untuk mendapatkan air minum, tentu kita harus beli nasi. Setidaknya belanja lontong. Tetapi belinya dimana?"
Nenek mengerutkan keningnya, seraya memandang  ke kejauhan. "Kalian tunggu di sini ya. Nenek nyari air dulu. Siapun yang ngajak pergi, jangan mau."Â
"Di mana, Nek?" balasku.
"Tuh, di sana." Nenek menunjuk ke sebuah perkampungan yang dipadati bangunan. Di belakangnya terlihat sebuah sungai. Jaraknya susah ditaksir.
Berbekal sebuah  tabung aluminium, perempuan 45 tahun itu melaju ke sasaran. Tak lupa juga membawa kapur tulis senjata ajaibnya.
Kelak  benda itu beliau gunakan untuk penanda. Setiap bertukar jalur di persimpangan,  dia membuat garis lurus. Salah satu ujungnya  dibubuhkannya  gambar seperti telunjuk. "Kalau kau mau pulang, ikuti arah ini!" Begitu kira-kira makna  coretan itu versi nenek.
Setiap titik lokasi, sedikitnya nenek  membuat tiga buah garis. Medianya, batu, tembok, atau benda apa saja yang bisa dicoret pakai kapur. Â
Teori ini  biasa beliau praktikkan ketika kami jalan kaki memasuki tempat yang ramai. Katanya supaya tidak tersesat. Sebab, nenekku  tak bisa baca tulis.
Sedangkan aku hanya pernah bersekolah dua minggu. Kemudian terpaksa berhenti karena bapak meninggal. Saat itu Patma baru 3 bulan dalam kandungan. Â Usai melahirkan Patma, ibu pun pergi menyusul Bapak.
Sejak itu, nenek seperti kehilangan asa. Sepanjang malam  beliau susah tidur. Sering aku kepergok beliau menangis tengah malam sambil menganyam tikar.
Kadang-kadang air mata kelelakianku juga ikut menetes, menyaksikan sosok yang paling kusayangi itu menangis tersedu sedan.
Kesedihan  nenek tambah mendalam tatkala rindunya pada Paman Dullah memuncak. Saudara kandung ibuku itu merantau jauh sebelum aku lahir. Belum  sekali pun dia pulang. Kata nenek, pernah  satu kali anak satu-satunya itu berkirim kabar. Saat itu dia  beralamat di daerah Jambi. Â
Nenek nekad menjual rumah peninggalan almarhum kakek. Lalu memboyong kami bertiga merantau ke Jambi. Tujuannya mencari Paman Dullah.
Dua negeri dalam wilayah Jambi ini sudah kami singgahi, bertanya ke sana sini tak seorang pun yang mengenal pemuda bernama Abdullah bin Amrah tersebut. Â Hingga akhirnya kami terdampar di Jambi kota ini sampai sekarang.
Satu jam, dua jam, kami tunggu nenek belum juga kembali. Aku khawatir, jangan-jangan beliau tersesat atau tenggelam ke dalam sungai.
Aku kian panik saat Cali dan Patma menangis minta minum dan makan. Apa daya, aku tak megang uang sepersen pun. Mungkin kecapean, akhirnya Cali dan Patma tertidur.
Pagi berganti siang, siang berganti petang. Sudah dua kali Patma bangun, memanggil-manggil nenek dan minta makan. Namun nenekku tak kunjung datang.
Tanpa terasa, 60 tahun telah berlalu. Kini usiaku memasuki kepala 7. Aku tak ingat lagi. Siapa perempuan yang menyelamatkan aku, Cali, dan Patma saat itu dan menitipkan kami ke Panti Asuahan.
Nenekku hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya. Kami bertiga hidup dan menua dengan  pasangan, anak, dan cucu masing-masing.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H