Setiap titik lokasi, sedikitnya nenek  membuat tiga buah garis. Medianya, batu, tembok, atau benda apa saja yang bisa dicoret pakai kapur. Â
Teori ini  biasa beliau praktikkan ketika kami jalan kaki memasuki tempat yang ramai. Katanya supaya tidak tersesat. Sebab, nenekku  tak bisa baca tulis.
Sedangkan aku hanya pernah bersekolah dua minggu. Kemudian terpaksa berhenti karena bapak meninggal. Saat itu Patma baru 3 bulan dalam kandungan. Â Usai melahirkan Patma, ibu pun pergi menyusul Bapak.
Sejak itu, nenek seperti kehilangan asa. Sepanjang malam  beliau susah tidur. Sering aku kepergok beliau menangis tengah malam sambil menganyam tikar.
Kadang-kadang air mata kelelakianku juga ikut menetes, menyaksikan sosok yang paling kusayangi itu menangis tersedu sedan.
Kesedihan  nenek tambah mendalam tatkala rindunya pada Paman Dullah memuncak. Saudara kandung ibuku itu merantau jauh sebelum aku lahir. Belum  sekali pun dia pulang. Kata nenek, pernah  satu kali anak satu-satunya itu berkirim kabar. Saat itu dia  beralamat di daerah Jambi. Â
Nenek nekad menjual rumah peninggalan almarhum kakek. Lalu memboyong kami bertiga merantau ke Jambi. Tujuannya mencari Paman Dullah.
Dua negeri dalam wilayah Jambi ini sudah kami singgahi, bertanya ke sana sini tak seorang pun yang mengenal pemuda bernama Abdullah bin Amrah tersebut. Â Hingga akhirnya kami terdampar di Jambi kota ini sampai sekarang.
Satu jam, dua jam, kami tunggu nenek belum juga kembali. Aku khawatir, jangan-jangan beliau tersesat atau tenggelam ke dalam sungai.
Aku kian panik saat Cali dan Patma menangis minta minum dan makan. Apa daya, aku tak megang uang sepersen pun. Mungkin kecapean, akhirnya Cali dan Patma tertidur.
Pagi berganti siang, siang berganti petang. Sudah dua kali Patma bangun, memanggil-manggil nenek dan minta makan. Namun nenekku tak kunjung datang.