Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ini Dia! Cara "Gila" Meraih Jabatan, Haramkah?

22 Januari 2020   19:20 Diperbarui: 22 Januari 2020   19:30 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingin naik jabatan ke posisi yang lebih tinggi, bukanlah sesuatu yang haram dalam berkarier. Seorang guru ingin menjadi Kepala Sekolah. Kepala sekolah berminat menjadi pengawas dan seterusnya.

Hal ini  syah-syah saja. Terlebih jika pribadi yang bersangkutan merasa pantas untuk menduduki jabatan yang dia incar. Ini demi harga diri.  

Hal serupa berlaku untuk semua pegawai/karyawan. Baik di instansi pemerintah maupun swasta. 

Namun untuk menggapainya tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak cukup mengandalkan kecerdasan intelektual, etos kerja dan pengalaman saja.   Lebih penting  dari yang terpenting adalah cerdas dalam lobi-melobi.

Diakui atau tidak. Praktik lobi-melobi dalam meraih dan mempertahankan  jabatan  marak terjadi di tengah masyarakat semenjak diberlakukan Undang Undang Nomor : 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah. Apa yang dilakukan pemerintah daerah, sesuai dengan selera pemerintah daerahnya. Termasuk dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat di bawahnya yang terkesan seenak perut.  Puncaknya, sebelum dan pasca pilkada.

Karena pernah bekerja sebagai guru, saya kemukakan contoh sejumlah kasus yang pernah  dialami oleh beberapa guru. Khusus di daerah saya, ada oknum guru (meski tidak banyak), yang kemampuan intelektualnya minim,  etos kerjanya memprihatin, sering bolos meninggalkan tugas. Malah dia yang diangkat jadi Kepala Sekolah.

Sebaliknya, banyak guru yang pintar, semangat kerjanya tinggi, rajin membantu tugas Kepala Sekolah, sampai memutih uban di kepala tetap menjadi guru biasa.

Ini fakta yang tak bisa dibantah. Kalau kurang arif menyikapi perkembangan zaman, seseorang harus  rela ditinggal kereta.  Kesuksesan dalam berkarier digenggam oleh orang yang sigap tanggap dan cepat beradaptasi. Hampir dipastikan tiada jabatan diperoleh tanpa perjuangan yang disertai lobi.

Taufik bukan nama sebenarnya. Seorang guru Matematika di sebuah SMP di kota S. Dari SD sampai kuliah dia terkenal pintar. Sudah  mengantongi Sertifikat lulus test kepala sekolah.  Masa dinas lebih dari cukup, pendidikan dan golongan di atas persyaratan.  

Bertahun-tahun dia ditunjuk menjadi Wakil Kepala Sekolah. Di pundaknyalah terletak kesuksesan gawean kepala Sekolah. Baik menyangkut  administrasi maupun nonadministratif.

Entah berapa kali SMP tersebut gonta ganti  pimpinan.  Pria pernah,  wanita pun pernah.  Ada yang berusia  di atas dia,  seumuran, hingga jauh lebih muda daripada dirinya.  Pak Taufik tetap diminta mendamingi  sang bos.  Tetapi lagi-lagi sebatas menduduki kursi wakil Kepsek. Sampai tugasnya purna pun, dia masih jadi wakil.

Terus apanya yang salah? Jawabannya  ya, itu tadi. Dugaan saya Pak Taufik kurang lihai berurusan. Istilah kekiniannya kurang gaul. Katanya, "Lobi sana lobi sini ujung-ujungnya menjilat dan duit."

Menurut saya, anggapan Pak Taufik bahwa melobi itu menjilat dan melulu duit, itu pandangan keliru. Lobi merupakan usaha mempengaruhi orang tertentu untuk memperoleh  tujuan yang di inginkan oleh pelobi. Bahasa umumnya disebut pendekatan. Baik dilakukan oleh individu yang berkepentingan maupun melalui perantara orang ke tiga.

Agar tujuan yang hendak dicapai tepat sasaran, dalam praktiknya melobi selalu diawali dengan pertemuan untuk menjalin komunikasi yang baik. Untuk urusan Pak Taufik, pihak yang harus dia lobi setelah Kepala Sekolah tempatnya mengajar, tentu Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala BKD Kota S dan pihak lain yang terkait.

Komunikasi yang dilakukan pun harus intens. Tidak cukup  sekali dua saja. Apabila dalam prosesnya pelobi  menawarkan sejumlah uang, atau sebaliknya pihak yang dilobi yang meminta, itu ceritanya akan lain.

Tetapi, jika seorang pelobi memengaruhi pejabat atau atasan yang dilobi dengan menonjolkan dirinya dan menjelek-jelekkan  pribadi lain, itu baru namanya menjilat bin cari muka. Makhluk tipe ini berkeliaran di instansi-instansi pemerintah dan swasta.

Jadi, melobi dan menjilat itu jelas beda. Pribadi yang berakhlak tidak akan bermental penjilat.

Nah, cara melobi itu seperti apa? Terpulang kepada yang berkepentingan.  Sesuaikan dengan tradisi setempat. Yang pasti, Bagaimana bunyi gendangnya, seperti itu pula rentak jogetnya. Kalau lagunya berirama dang ndut, tarinya harus ndut-ndutan.

Semasa kuliah salah satu dosen pernah berfilosof, "Kalau semua orang pada gila, cuman  kalian  tidak ikutan gila, maka patut dicurigai kalianlah yang paling gila."

Intinya, kalau Anda memang merasa pantas menduduki suatu jabatan yang lebih tinggi, perjuangkan. Ikuti  prosedur, barengi dengan usaha maksimamum. Yang penting halal dan tidak merugikan pihak lain. Demi harga diri, kapan perlu boleh sedikit agak gila. He he .... Selamat berkarier.  Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun