Sikapnya yang cuek dan tak pernah menyapa, membuat sosoknya terlihat seram. Setiap bertemu bocah berwajah ciut, dia menggerak-gerakkan kumisnya ke kiri dan kanan, ke bawah dan atas,  disertai kerdipan  matanya yang tajam. Jangankan bertemu langsung, terlihat sosoknya dari jauh saja  anak-anak lari terbitir-birit.
Setiap pergi mandi ke sungai, Gaek Ijuk lewat di depan rumah kami. Waktunya sebelum shalat Zduhur.
Sosoknya mudah teridentifikasi. Sebab, dia suka bertelanjang dada. Baru tampak dia dari jauh, saya lari pontang-panting masuk rumah, bersembunyi di balik pintu. Ngintip-ngintip dan mengamati apakah dia sudah jauh atau belum. Sebelum dia pulang dari sungai, selama itu pula saya tetap waspada agar tidak sampai  kepergok.
Suatu hari, tak disangka-sangka saya  bertemu Gaek Ijuk di jalan. Sigap saya masuk ke semak, akan bersembunyi di balik pohon senduduk. Nasib sial malang melintang. Saya terjerembab masuk lubang, kedalamannya kira-kira satu meter. Untung airnya tidak penuh, hanya selutut orang dewasa.
Peristiwa ini berlalu hampir 60 tahun. Tetapi sangat membekas di hati saya. Betapa besarnya pengorbanan Emak, melahir dan membesarkan saya tanpa didampingi suami.
Belum lagi mendidik dan menyekolahkan saya dengan keterbatasan ekonomi. Tetapi Emak tetap berprinsip, pendidikan saya harus tuntas sesuai kemampuan kantongnya. Agar nasib anaknya ini bisa berubah. Tidak susah seperti Emaknya.
Semoga beliau tenang di Syurga Jannatun Na'im. Mak ...! Aku rindu padamu.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H