Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wanita Hebat dan Pria Berkumis Sering Menghentikan Aku Menangis

25 Desember 2019   08:19 Diperbarui: 25 Desember 2019   08:22 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mumpung masih beraroma hari ibu, saya tulis kisah ini dalam rangka memperingati 11 tahun kepergiannya.  Dia adalah ibuku, ibuku, dan ibuku. Perempuan yang saya cintai dunia akhirat. Perempuan hebat dalam hidup saya yang belum ada tandingannya.

Dari kecil sampai kelas 2 Sekolah Rakyat, saya suka mengekor kemana Emak pergi. Para tetangga persis tahu, kalau saya menangis  tandanya Emak akan pergi. Saya tak diizinkan ikut.

Mungkin sikap ini timbul karena saya kesepian tinggal sendiri. Di rumah  hanya kami berdua. Emak seorang single parrent, berprofesi sebagai pedagang kecil dari pekan ke pekan. Makanya beliau sering "dinas luar".

Tidak hanya alasan kesepian. Terlebih dari itu, dalam hati saya selalu khawatir kalau Emak menikah lagi. Saya sangat menyayangi Emak. Saya takut kehilangan Emak. Saya takut Emak jadi milik orang (laki-laki) lain. Beliau adalah segala-galanya bagi saya. Cantik, penyayang, banyak duit tidak pelit.

Kadang-kadang Emak buru-buru mengejar waktu. Mau berjualan atau membeli dagangan. Eh ..., saya menangis minta ikut.

Sering Emak hilang kesabaran. Beliau marah besar, menggigit giginya sampai rontok dipatuk ayam. Setelah saya dewasa, peristiwa tersebut menjadi cerita indah bagi saya dan  Emak.

Di mata saya perempuan yang menikah di usia 14 tahun itu tiada cela. Kecuali jika dia pergi tidak ngajak. Saya menangis berguling-guling. Ujung-ujungnya berhenti dan bangun sendiri setelah  sosoknya hilang dari pandangan.

Kalau saya menangis di hadapan Emak, yang mudah menghentikan adalah Gaek Ijuk. Inilah satu-satunya orang yang saya takuti.  Baru mulai merengek Emak berkata, "Ada Gaek ijuk, tuh."

Kadang-kadang  Emak sekadar menakut-nakuti. Adakalanya juga pas saya nangis Gaek Ijuk lewat. Tangis saya terhenti, terus lari sampai terkencing-kencing.

Tak jarang juga saya berteriak sombong, "Tidak takuuut ....!"

Gaek Ijuk adalah seorang kakek yang sangat ditakuti anak-anak kampung. Termasuk saya. Kulitnya hitam. Rambut, kumis, jenggot, dan brewoknya kasar dan tebal seperti ijuk. Mungkin tersebab itulah kakek ubanan itu lengket dengan nama Saban Ijuk.

Sikapnya yang cuek dan tak pernah menyapa, membuat sosoknya terlihat seram. Setiap bertemu bocah berwajah ciut, dia menggerak-gerakkan kumisnya ke kiri dan kanan, ke bawah dan atas,  disertai kerdipan  matanya yang tajam. Jangankan bertemu langsung, terlihat sosoknya dari jauh saja  anak-anak lari terbitir-birit.

Setiap pergi mandi ke sungai, Gaek Ijuk lewat di depan rumah kami. Waktunya sebelum shalat Zduhur.

Sosoknya mudah teridentifikasi. Sebab, dia suka bertelanjang dada. Baru tampak dia  dari jauh, saya lari pontang-panting masuk rumah, bersembunyi di balik pintu. Ngintip-ngintip dan mengamati apakah dia sudah jauh atau belum. Sebelum dia pulang dari sungai, selama itu pula saya tetap waspada agar tidak sampai  kepergok.

Suatu hari, tak disangka-sangka saya  bertemu Gaek Ijuk di jalan. Sigap saya masuk ke semak, akan bersembunyi di balik pohon senduduk. Nasib sial malang melintang. Saya terjerembab masuk lubang, kedalamannya kira-kira satu meter. Untung airnya tidak penuh, hanya selutut orang dewasa.

Peristiwa ini berlalu hampir 60 tahun. Tetapi sangat membekas di hati saya. Betapa besarnya pengorbanan Emak, melahir dan membesarkan saya tanpa didampingi suami.

Belum lagi mendidik dan menyekolahkan saya dengan keterbatasan ekonomi. Tetapi Emak tetap berprinsip, pendidikan saya harus tuntas sesuai kemampuan kantongnya. Agar nasib anaknya ini bisa berubah. Tidak susah seperti Emaknya.

Semoga beliau tenang di Syurga Jannatun Na'im. Mak ...! Aku rindu padamu.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun