Sebulan di UK (2015), saya memperoleh kesempatan mengunjungi berbagai tempat wisata gratis dan berbayar (sesuai kantong). Khususnya di daerah Birmingham dan sekitarnya.Â
Maklum, pelancong kelas ekonomi lemah. Berangkatnya juga nimbrung bin aji mumpung. He he....
Meskipun masih banyak destinasi wisata yang belum saya singgahi, ada satu yang membuat saya penasaran berat. Yaitu, tur menumpang mobil karavan.
Ketika hal ini saya ceritakan kepada anak cucu, mereka membully saya, "Cari duit yang banyak, Nek. Terus ke Inggris lagi bersama kakek, ber-honeymoon ria menginap di mobil karavan." mereka tertawa ngekeh.
Bahasa kolotnya, mobil karavan dimaknai sebagai rumah berjalan atau rumah beroda. Hanya fisiknya yang berkonsep mobil.Â
Saat ini di Indonesia mobil karavan mulai digandrungi masyarakat untuk berlibur menempuh jarak jauh.
Apa enaknya jalan-jalan naik karavan? Selain diantarkan ke objek wisata, pelancong juga dapat merasakan sensasinya menginap di dalam mobil secara nomaden. Tak perlu repot mencari hotel atau penginapan.
Karavan merupakan sebuah mobil didesain sedemikian rupa sehingga nyaman untuk ditempati. Langit-langitnya dibuat tinggi agar bisa berdiri tanpa takut terjedot. Bagian atasnya dapat dibuka tutup supaya udara segar leluasa masuk.
Sehingga menawarkan keunikan dan pengalaman baru bagi penggunanya. Cocok untuk melancong bersama keluarga kecil, memberikan nuansa romantis bagi pasangan yang ingin berbulan madu.
Beberapa bus bisa diubah menjadi karavan mewah dan nyaman untuk ditempati. Namun, hanya orang-orang kaya yang mampu memilikinya karena harganya sangat mahal.
Tetapi jangan berkecil hati dulu. Seiring perkembangan zaman, di Indonesia sudah tersedia paket pelesiran bertipe karavan. Tepatnya di Negeri Laskar Pelangi Belitung Timur Provinsi Bangka Belitung dan di Pulau Dewata daerah Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali.
Keduanya disebut-sebut oleh sumbernya sebagai tempat liburan pertama yang menyediakan perjalanan menggunakan karavan.Â
Disusul oleh Banyuwangi yang telah memperkenalkan kendaraan wisata jenis karavan di sini. Jadi, tak mampu membeli, cukup memiliki barang 2-3 hari saja.
Kendaraan tersebut ada yang milik pribadi, dapat juga disewa pada agen-agen penyedianya.
Sebaliknya, sebagian kaum miskin atau yang kurang mampu, memanfaatkan karavan sebagai tempat tinggal. Karena pemiliknya tidak mampu membeli rumah. Mereka tak terpaut pada musim. Karena tiada pilihan selain pasrah pada segala kondisi.Â
Atau boleh jadi si pemilik punya uang, tetapi memilih tinggal di karavan demi hobi dan kesenangan.
Tak terbayang betapa tersiksanya bertahan di tengah cuaca dingin, pada musim dingin dan salju. Saya berkunjung ke sana Mei sampai pertengahan Juni.Â
Bertepatan dengan akan berakhirnya musim semi. Yang mana masyarakat setempat sedang bersiap-siap menyambut datangnya musim panas. Artinya suhu panas sudah mulai membayang.
Namun malam hari dinginnya tak ketulungan. Tiga lembar selimut panas masing-masing lipat dua. Tubuh saya tetap juga menggigil.
Ironisnya, walaupun tempat tinggal mereka berpindah-pindah, penduduk karavan ini punya kode pos/alamat resmi.
Sebagian para petualang tersebut bermalam dalam kendaraan. Ada juga yang memilih menginap di outdoor atau alam terbuka menggunakan tenda. Aktivitas lain seperti memasak, mandi, dan sebagainya dilakukan dalam mobil.
Satu malam sebelum wukuf, sayup terdengar tangis bayi sekira usia dua bulan. Sumbernya dari sebuah bukit kecil berhadapan dengan jendela kamar kami. Saya kira suara hantu. Sebab, sebelumnya tanah bebatuan tersebut merupakan lahan kosong.
Paginya bercokol sebuah tenda. Penghuninya terdiri dari anak, bapak, dan ibu. Dipastikan mereka adalah jamaah karavan, yang menunaikan ibadah haji bersama keluarga. Di sana mereka cuma transit satu malam, menjelang berangkat ke Arafah.
Tak tahu apakah jamaah tersebut warga kampung di luar kota Mekah atau berasal dari negara lain.
Zaman itu hobi menulis saya sedang tenggelam pada titik stagnan, setelah vakum menjelang usia 30 tahun. Sehingga apa-apa yang ada di depan mata saya melihatnya biasa-biasa saja. Momen-momen penting berlalu tanpa kesan nol catatan.
Padahal, kalau ingin mendapat informasi, banyak sumber yang bisa digali. Ada emak-emak pedagang makanan etnis Jawa. Setiap pagi mereka menggelarkan dagangan di emperan hotel tempat kami menginap.Â
Ada juga Daeng resepsionis asal Sulawesi. Mereka pasti tahu banyak tentang lingkungan tempat mereka bekerja. Kini saya menua sembari menelan sesal.***