Sebagian para petualang tersebut bermalam dalam kendaraan. Ada juga yang memilih menginap di outdoor atau alam terbuka menggunakan tenda. Aktivitas lain seperti memasak, mandi, dan sebagainya dilakukan dalam mobil.
Satu malam sebelum wukuf, sayup terdengar tangis bayi sekira usia dua bulan. Sumbernya dari sebuah bukit kecil berhadapan dengan jendela kamar kami. Saya kira suara hantu. Sebab, sebelumnya tanah bebatuan tersebut merupakan lahan kosong.
Paginya bercokol sebuah tenda. Penghuninya terdiri dari anak, bapak, dan ibu. Dipastikan mereka adalah jamaah karavan, yang menunaikan ibadah haji bersama keluarga. Di sana mereka cuma transit satu malam, menjelang berangkat ke Arafah.
Tak tahu apakah jamaah tersebut warga kampung di luar kota Mekah atau berasal dari negara lain.
Zaman itu hobi menulis saya sedang tenggelam pada titik stagnan, setelah vakum menjelang usia 30 tahun. Sehingga apa-apa yang ada di depan mata saya melihatnya biasa-biasa saja. Momen-momen penting berlalu tanpa kesan nol catatan.
Padahal, kalau ingin mendapat informasi, banyak sumber yang bisa digali. Ada emak-emak pedagang makanan etnis Jawa. Setiap pagi mereka menggelarkan dagangan di emperan hotel tempat kami menginap.Â
Ada juga Daeng resepsionis asal Sulawesi. Mereka pasti tahu banyak tentang lingkungan tempat mereka bekerja. Kini saya menua sembari menelan sesal.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H